Oleh: Dian
(Pegiat Komunitas MuP)
Jumlah itu naik sekitar 13 persen dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar Rp 3.556 triliun. Melonjaknya utang luar negeri dipengaruhi kenaikan utang di sektor publik dan swasta sejalan dengan kebutuhan pembiayaan infrastruktur dan kegiatan produktif lainnya.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menegaskan, utang pemerintah saat ini masih dalam level aman. Pemerintah, kata dia, menarik utang untuk membangun infrastruktur dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. "Utang kita tidak ada masalah. Utang sedikit lebih cepat dibandingkan masa lalu. Tapi tetap saja yang namanya beban utang kita tidak termasuk tinggi di antara negara mana pun. Seluruh dunia tahu itu," ujar Darmin.
Besaran utang tersebut masih aman. Sebab, rasio utang Indonesia masih 29,24 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Maka, menurut Schneider, Indonesia masih memiliki ruang untuk menambah utang luar negeri. "Kalau ditanya masih bisa tambah utang? Ya masih bisa, masih ada ruang," kata Direktur Strategi dan Portofolio Utang Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko Kementerian Keuangan, Schneider Siahaan (Republika.co.id , 17 /03/2018).
Karena berdasarkan ketentuan Undang- Undang Keuangan Negara nomor 17 tahun 2003, rasio utang tersebut masih dalam batas aman. Dalam aturan tersebut, batas maksimal rasio utang pemerintah adalah 60 persen terhadap PDB.
Sementara itu, kurs rupiah masih bergejolak dan saat ini berada di posisi 14.192,00 per dolar AS, berdasarkan data kurs tengah Bank Indonesia (BI) atau JISDOR. (kursdollar.net, 24 / 05/2018 ).
Output yang diharapkan dari hutang untuk pertumbuhan ekonomi relatif stagnan. Hutang tidaklah produktif seperti rencana.
Terlihat dari belum mampunya hutang mendorong pertumbuhan ekonomi bidang investasi secara signifikan. Menurut Ahmad Heri Firdaus, Peneliti Institute For Development of Economics and Finance (Indef) mengatakan bahwa dampak utang dalam percepatan agenda pembangunan infrastruktur memang tidak serta merta akan terjadi dalam jangka pendek.
Dengan lonjakan hutang yang kian mengunung, harusnya pemerintah sadar untuk mengkaji ulang kebijakan dalam menghimpun dana pembangunan. Jangan terkesan santai saja. Sebab kondisi ini semakin menambah beban bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada 2018, terutama dalam hal pembayaran cicilan dan bunga utang pemerintah setiap bulan.
Negara Kolaps
Menjadikan hutang sebagai pos utama oprasional pembangunan negara bukanlah hal yang ideal jika ingin menuju negara yang mandiri. Karena justru negara tidak akan pernah mandiri selama menjadikan utang berbasis riba sebagai sumber pendapatan. Sebab yang namanya bunga ia akan terus beranak pinak bahkan bisa menjadi beban yang menghambat.
Kisah pahit terjadi pada beberapa negara yang gagal membayar hutang luar negeri. Salah satunya Zimbabwe yang memiliki utang sebesar 40 juta dollar AS kepada China. Sebab Zimbabwe tak mampu membayarkan utangnya kepada China, akhirnya harus mengganti mata uangnnya menjadi Yuan sebagai imbalan penghapusan utang. Penggantian mata uang itu berlaku sejak 1 Januari 2016, setelah Zimbabwe tidak mampu membayar utang jatuh tempo pada akhir Desember 2015.
Utang Luar Negeri kini menjadi gaya neo imperealisme yang bisa menyebabkan kolaps nya suatu bangsa sebab bunga yang mencekik. Bagaimana tidak, hasil pembanggunan yang tak bisa diperloeh dalam waktu singkat ditabrakan dengan bunga yang tiap waktu mengalami kenaikan. Apalagi bila kurs mata uang negara tak stabil maka hutang akan menjadi berkali lipat dari semula.
Kesejahteraan menjadi utopis yang ditawarkan bagi rakyat. Dengan dalih pemerataan, perekonomian negara bisa terancam inflasi. Tahun-tahun kritispun dimulai sebab pembangunan tak jua menampakkan hasil yang signifikan. Kembali lagi rakyat yang akan disengsarakan.
Apalagi dengan harga – harga kebutuhan masyarakat mengikuti naik, seiring dengan kurs yang berubah atau bahan baku tertentu yang impor. Bahkan di sektor pangan Indonesia impor , antar lain beras, garam , bawang merah, bawang putih dan pangan lainnya.
Adakah solusi alternatif, bagi dana pembangunan yang tidak akan memberatkan rakyat . Bahkan justru mendorong terpenuhinya segala kebutuhan masyarakat. Sehingga kesejahteraan bukan hayalan bagi bangsa yang kaya SDA ini.
Sistem Islam sebagai Refleksi
Dalam pembangunan infrastruktur, Islam memberikan perhatian yang lebih. Karena pembangunan infrastruktur adalah adalah sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi. Ada beberapa poin penting diantaranya :
Pertama, dalam sistem ekonomi dan politik Islam, pembangunan infrastruktur sepenuhnya adalah tanggung jawab negara. Sehingga proyek yang dijalankan bukan sebagai ajang mencari keuntungan atau ajang untuk melancarkan hubungan diplomatik semata. Hal ini berbeda dengan sistem kapitalistik yang mana keutungan sebagai fokus utamanya. Contohnya dalam proyek jalan tol yang senantiasa berbayar.
Kedua, sistem ekonomi Islam dikenal ada pengaturan kepemilikan [milkiyyah], pengeloaan kepemilikan [tasharruf], termasuk distribusi barang dan jasa di tengah-tengah masyarakat [tauzi’] juga memastikan berjalannya politik ekonomi [siyasah iqtishadiyyah] dengan benar. Dengan menerapkan sistem ekonomi Islam, negara akan mempunyai sumber kekayaan yang cukup untuk membiayai penyelanggaraan negara.
Dengan produktivitas individu yang terjaga ekonomi negara tumbuh dengan sehat. Dengan begitu, ketika negara mengalami situasi di mana harus membangun infrastukturnya, maka negara mempunyai banyak pilihan sumber dana karena, masalah penyelenggaraan negara dan pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya juga sudah selesai.
Ketiga, dengan sistem ekonomi Islam Rancangan Tata Kelola Ruang dan Wilayah dibuat seefisien mungkin dengan sistem terintegrasi dalam satu wilayah. Sebagai contoh, ketika Baghdad dibangun sebagai ibu kota, pembangunan fasilitas publik seperti masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, tempat singgah bagi musafir, pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan, pemakaman umum dan tempat pengolahan sampah dalam satu kompleks.
Dengan demikian, warga tak perlu menempuh perjalanan jauh untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, baik untuk menuntut ilmu atau bekerja karena semua dalam jangkauan perjalanan kaki yang wajar, dan semua memiliki kualitas yang standar. Ini sangat efektif dan efisien.
Keempat, pendanaan pembangunan infrastruktur negara berasal dari dana Baitul Mal, tanpa memungut sepeser pun dana masyarakat (pajak). Hal itu sangat memungkinkan karena kekayaan milik umum dan kekayaan milik negara memang secara riil dikuasai dan dikelola oleh negara.
Semua ini memungkinkan negara untuk mencapai kemandirian secara ekonomi, sehingga kesejahteraan rakyat adalah sebuah keniscayaan. Berbanding terbalik dengan sistem Kapitalis yang justru makin memberatkan hidup rakyat karena untuk membiayai pembangunan sangat bergantung kepada hutang ribawi, Masihkah umat mau mempertahankan sistem rusak hari ini? Atau bersegera menggantinya dengan sistem yang mulia, sistem Islam.[MO/sr]