TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Muhammad Sirajuddin Syamsuddin atau Din Syamsuddin setuju jika Al-Quran tidak dijadikan barang bukti dalam kasus tindak pidana terorisme. "Ya, sebaiknya janganlah (Al-Quran jadi barang bukti)," kata Din di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat, 18 Mei 2018.
Pernyataan Din bukan tanpa alasan. Menurut Din, Al-Quran adalah kitab suci umat Islam dan dimiliki setiap muslim.
Desakan agar Al-Quran tidak dijadikan barang bukti dalam kasus tindak pidana terorisme belakangan muncul di situs layanan pembuatan petisi Change.org. Dalam situs itu, akun Umat Islam melayangkan petisi kepada Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Agung, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dan Majelis Ulama Indonesia.
Akun Umat Islam dalam petisi itu menjelaskan, aparat penegak hukum kerap menyita Al-Quran yang ditemukan di tempat kejadian perkara sebagai barang bukti kejahatan, termasuk dalam kasus terorisme. Menurut dia, Al-Quran adalah wahyu Allah yang tidak pantas dijadikan barang bukti kejahatan.
"Bukankah dalam setiap persidangan terorisme tidak pernah Al-Quran dijadikan bukti valid yang mendukung tindakan teroris tersebut? Mengapa kesalahan hina ini terus-menerus dilakukan. Untuk apa?" ucap akun itu, seperti dikutip Change.org.
Selain itu, pembuat petisi ini meminta aparat penegak hukum atau siapa pun yang menemukan Al-Quran di tempat kejadian perkara mengambilnya dan mewakafkannya ke masjid terdekat. "Itu adalah tindakan yang bermoral, mulia, dan benar," ujarnya.
Petisi ini dibuat akun Umat Islam pada Kamis, 17 Mei 2018. Hingga Jumat pukul 23.30, sudah ada 4.708 orang yang menandatanganinya.
Menanggapi Din Syamsuddin, kemarin, Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Kepolisian RI Inspektur Jenderal Setyo Wasisto menuturkan pihaknya akan mengevaluasi penggunaan Al-Quran sebagai barang bukti tindak pidana. "Nanti dievaluasi," katanya.