-->

Pesta Demokrasi, Untuk Rakyat?

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat
Advertisemen


Oleh: Ahmad Rizal - Dir. Indonesia Justice Monitor

Tahun 2018 dan 2019 merupakan tahun politik. Aroma koalisi antar parpol tercium sejak setahun terakhir. Mesin-mesin parpol telah panas, hanya menunggu lampu hijau.

Pesta demokrasi mendatang sebagaimana sebelum-sebelumnya dipastikan akan penuh intrik-intrik politik dan janji-janji manis dari para paslon. Demi mendulang suara dominan, kerap sekali teriakan "rasa madu" diserukan di atas podium, di depan layar kaca, serta di cetakan-cetakan surat kabar, spanduk, poster, dan baliho. Slogan-slogan merakyat pasti sering terdengar.

Yang mestinya disadari oleh masyarakat adalah bahwa calon pemimpin mereka dalam kontestasi demokrasi tak akan terlepas dari jeratan kapitalis. Biaya demokrasi yang menjulang tinggi meniscayakan intervensi tangan-tangan "dermawan" yang tidak tahu diri untuk mengisi bahan bakar partai pengusungnya.

Jika sudah begini, kapan kepentingan rakyat ditunaikan? alih-alih demikian, justru kepentingan kelompok dan para pemilik modal menjadi prioritas utama politik mereka ketika kursi kekuasaan dalam genggaman. Tradisi "balas budi" ini selalu menjadi tren di kalangan para pejabat negara. Atau lebih tepat dikatakan menunaikan apa yang telah "dibeli". Akhirnya praktik kongkalikong antara penguasa dan pengusaha tak terelakkan.

Lagipula, tak ada paslon yang benar-benar dari rakyat. Faktanya, pilihan rakyat dibatasi oleh figur-figur politik yang telah disiapkan oleh parpol. Finish! Suara rakyat sekedar menjadi alat legitimasi atas figur yang telah dipilih oleh parpol. Di sisi lain, para kapitalis telah menyandera kepentingan parpol. Ujung dari semua ini adalah keberhasilan para penyandang dana besar sebagai pengendali parpol, pengendali figur paslon yang disiapkan oleh parpol. Jika figur tersebut sukses dalam kontestasi demokrasi, lahirlah para penguasa yang berada dalam kendali kapitalis.

Rakyat harus memiliki kesadaran politik hingga mampu menerawang apa yang ada di balik tembok tebal politik negeri ini. Jika kesadaran itu telah dimiliki, kengerian-kengerian akan mampu terindera oleh panca indera rakyat yang berujung meninggalkan sikap pragmatis dan apatis. Rakyat harus berani membuat arus baru yang lebih besar untuk melawan arus yang ada saat ini. Menerjang apapun demi tercapainya perubahan ke arah yang lebih baik, serta meninggalkan jebakan-jebakan politik yang saat ini tumbuh subur di alam demokrasi. [IJM]

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments
close