Kebijakan Listrik |
Oleh: Ibrahim
Aktivis Gerakan Mahasiswa Pembebasan
Mediaoposisi.com-Kebijakan pemerintah dalam hal penyederhanaan daya listrik masih harus dikaji lagi oleh pemerintah. Banyak pihak yang menilai bahwa kebijakan pemerintah tersebut adalah kebijakan yang tidak tepat guna untuk masyarakat, malah justru akan semakin mendorong masyarakat untuk meningkatkan penggunaan listriknya, atau dengan kata lain semakin meningkatkan budaya konsumerisme masyarakat, hingga akhirnya masyarakat harus membayar lebih mahal dari sebelumnya.
Hal tersebut sebagaimana yang dikatakan pula oleh Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa bahwa dengan daya yang tersedia lebih besar maka akan mendorong seorang pelanggan lebih banyak menggunakan listrik, sehingga ujung-ujungnya semakin menambah potensi investasi di pembangkit.
Sebagaimana yang kita ketahui bersama, sejak kemarin PLN sangat gencar melakukan penerbitan surat utang untuk membiayai investasinya. Padahal saat ini keungan PLN mengalami kondisi yang buruk, dari laporan keuangan PLN kuartal II-2017, utang (liabilitas) BUMN ini mencapai RP 420 triliun. Kewajiban itu terdiri dari utang jangka panjang RP 299 triliun dan utang jangka pendek RP 121 triliun, dengan bunga yang harus dibayar mencapai RP 10 triliun di tahun 2017.
Menurut Pakar Energi dari Universitas Indonesia (UI) Iwa Garniwa, adanya penyederhanaan daya listrik ini disebabkan karena pemerintah salah memprediksi terkait pembangunan listrik, pemerintah tidak mengetahui angka kebutuhan listrik “Kebutuhan listrik lebih rendah dibandingkan dengan pembangunannya, akibatnya PLN akan menanggung sendiri kerugian kelebihan listrik ini” tegasnya saat dihubungi salah seorang wartawan, di Jakarta, Senin (13/11).
Saat ini, PLN mendapat tugas dari pemerintah Jokowi-JK untuk membangun pembangkit listrik sebanyak 35 ribu MW untuk tahun 2015-2019. Padahal proyek tersebut banyak ditentang oleh berbagai pihak, mereka menganggap angka tersebut adalah angka yang terlalu besar sebab mereka melihat bahwa kebutuhan listrik di Indonesia untuk lima tahun ke depan hanya berkisar sampai 16 ribu MW, artinya akan ada kelebihan 19 ribu – 21 ribu MW.
Untuk itu, agar tidak terlalu banyak menanggung kerugian kelebihan listrik ini, maka listrik tersebut dibagikan kepada masyarakat. Sehingga nantinya masyarakat akan dipaksa untuk berlaku boros dalam menggunakan listriknya. Jika sudah begitu, maka akan dibutuhkan lebih banyak pembangkit listrik lagi untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat. Hal tersebut semakin meniscayakan peningkatan investasi di bidang pembangkit.
Sementara jika itu terjadi, tentu PLN harus mengeluarkan lebih banyak lagi biaya investasi di tengah kondisi keuangan yang terus memburuk. Terlebih lagi, subsidi pemerintah terhadap PLN semakin dikurangi. Hal ini justru akan semakin menguntungkan pihak swasta, sebab peluang swasta untuk menguasai salah satu sektor paling urgent di Indonesia semakin terbuka, seiring dengan itu peran PLN dalam pengelolaan listrik nasional semakin mengecil.
Dengan begitu, maka tidak menutup kemungkinan bahwa PLN pun akan diswastanisasi, melihat bagaimana kondisi PLN saat ini yang kewalahan dalam mengurusi listrik nasional sementara peran negara yang semakin minim dalam memberikan bantuan terhadap PLN. Maka bisa saja suatu saat nanti, tak ada jalan lain untuk menyelamatkan PLN kecuali dengan cara dijual ke pihak asing. Hal itu tidak menutup kemungkinan, melihat banyak sektor penting negara yang saat ini juga sudah dijual ke pihak asing dengan alasan untuk pembangunan infrastruktur.
Kebijakan ini juga dinilai tidak tepat sasaran, sebab pemberian listrik sebesar 4.400 VA terlalu besar untuk masyarakat dibandingkan penggunaan daya listrik mereka selama ini. Sementara kita dapat melihat, masih banyak di daerah pelosok lain yang belum bisa menikmati listrik sebagaimana yang telah lama dinikmati oleh orang-orang kota.
Entah apakah itu sudah sesuai dengan yang mereka maksudkan sebagai “pancasilais” mereka, yang jelas secara faktual sudah terpampang nyata bagaiamana liberalisasi sektor energi telah merugikan negara. Dalam islam, sumber energi adalah milik umum, wajib dikelola oleh negara untuk kemaslahatan rakyat dan haram hukumnya memberikannya kepada pihak swasta, dan juga pemerintah tidak boleh mengambil untung di dalamnya, karena itu termasuk salah satu jaminan pemimpin terhadap rakyat. Maka solusinya sudah barang tentu kembali kepada syariat islam. Kembalikan hukum sesuai syariat, niscaya rahmat dari langit dan bumi akan dibukakan oleh sang maha pencipta. [MO/bp]