PETA KOALISI PARTAI PASCA TRAGEDI TIANG LISTRIK
Oleh: Nasrudin Joha
Mediaoposisi.com- Sah! Novanto mengenakan rompi Orange. Kombinasi antara warna kuning dan merah. Novanto menjadi pasien KPK, setelah serangkaian sinetron Papah naik tersangka berakhir antiklimaks di tiang listrik. Tragedi tiang listrik ini bukan soal sepele, bukan soal sederhana, bukan insiden biasa.
Tragedi tiang listrik ini akan diikuti tragedi-tragedi lainnya. Dan, semua pihak yang terlibat dalam lakon tragedi tiang listrik sedang mengencangkan sabuk pengaman. Masing2 ketar-ketir, akan kemana arah lakon tragedi, siapa yang akan menjadi pemain lakon tragis selanjutnya mengikuti jejak Novanto.
Dari kombinasi warna, nampaknya rompi warna orange akan mengarah ke warna merah. Sudah dapat dibenarkan, Novanto berlepas diri dari komitmen politik. Sebab, tragedi tiang listrik ini terjadi juga karena imbas pengkhianatan komitmen politik, dimana Novanto menjadi salah satu pilar penegaknya.
Secara etika dan atas dasar naluri pembelaan diri, Novanto dapat dibenarkan mengeluarkan nyanyian bernada sumbang. Not balok yang pertama akan diangkat Novanto tentu yang terkait warna merah serta siapa saja yang berada dibawah naungan nya.
Novanto bisa langsung nge-ref, menyambar pucuk pimpinan PDIP atau ke arah pilar kekuasaan rezim Jokowi, atau melalui strategi makan bubur, bola sodok karambol, dengan mengarahkan pukulan politik yang diarahkan ke Ganjar Pranowo, kader PDIP, Gubernur Jateng.
Sebagaimana diketahui, Ganjar disebut menerima sejumlah uang dari hasil kongkalikong proyek e-KTP. Ganjar saat menjabat aleg DPR RI, bersama geng Koruptor Senayan, diketahui telah menerima sejumlah uang haram. Bahkan, ada daftar puluhan aleg DPR RI lainnya yang juga menerima duit e KTP, tetapi kemudian berbondong-bondong mengembalikannya.
Novanto bisa saja mengarahkan seluruh pelurunya secara membabi buta, layaknya senapan mesin otomatis yang memberondong seluruh pihak yang terlibat e KTP. Baik yang di warna merah, kuning, biru bintang mercy, dan partai-partai lainnya.
Nama-nama seperti Yasona Laoly, Gamawan Fauzi, Abdul Haramain, Jazuli Juwaini, Anas Urbaningrum, Marzuki Ali, bahkan bisa saja merengsek ke koleganya separtai, Mecias Mekeng dan Ade Komaruddin ikut diangkut Novanto untuk menemani jeruji besi. Termasuk juga Agus Raharjo, pimpinan KPK.
Setya Novanto |
Tetapi yang paling rajih adalah Novanto memilih dari sekian nama yang ada untuk dijadikan sarana melawan sekaligus membela diri, termasuk sarana membalas dendam. Jika konteksnya melawan, membela diri dan balas dendam, maka partai moncong putih yang berada diambang masalah. Meskipun, biasanya perlawanan Novanto jika tidak sampai pada titik balas dendam, setidaknya bisa melakukan pertahanan pada batas-batas yang memungkinkan.
Saham kekuasaan yang diberikan Novanto membawa gerbong Golkar untuk mendukung Jokowi, ternyata tidak mendapat balasan yang setimpal. Bahkan, status Novanto sebagai pesakitan KPK justru di eksploitasi rezim Jokowi sebagai jualan politik, menunjukan citra rezim yang komitmen dalam penegakan hukum, setelan rezim menjadi bulan-bulanan kritik publik karena banyaknya kebijakan yang anomali.
Adapun serangan kepada partai yang lain, termasuk rekan dan kolega sejawat di Golkar, nampaknya hanya akan digunakan Novanto untk menjadi bunker tambahan dan sekaligus sarana balas dendam pada rezim Jokowi. Peta koalisi, adalah titik krusial bagi rezim jika persoalan Novanto ini liar dah tidak bisa terkendali.
Novanto akan menggunakan seluruh energi yang tersisa, untuk menarik gerbong Golkar keluar dari rezim Jokowi. Meskipun, tanpa upaya Novanto, Golkar secara politik akan memiliki rencana kuat mempertimbangkan mencabut mandat politik pada rezim demi mendulang suara rakyat di 2019. Jika Golkar, menggunakan tragedi tiang listrik untuk menekan rezim agar memberi lebih banyak kompensasi kekuasaan, maka bagi Golkar itu terlalu kecil. Apalagi, di masa akhir kekuasaan rezim yang tinggal menghitung hari.
Manuver Golkar Akan Segera Diikuti Partai Lainnya
Kuat dugaan Golkar akan mengambil manuver politik keluar dari koalisi Jokowi, baik karena ikhtiar balas dendam Novanto atau karena dorongan internal Golkar yang sejak awal tidak aklamasi mendukung koalisi banteng moncong putih. Terlebih lagi, pertimbangan Golkar menuju elektabilitas partai di Pilkada dan pemilu Pilpres 2019. Langkah ini, diperkuat karena adanya dinamika organisasi partai.
Baik menggunakan pendekatan penetapan pejabat sementara partai, atau mengambil langkah politik melakukan musyawarah nasional luar biasa (MUNASLUB), Golkar pasti melakukan revitalisasi dan restrukturisasi partai. Struktur baru, akan didominasi tokoh-tokoh baru diluar klan politik Novanto dan Luhut Panjaitan. Klan baru inilah, yang akan menarik gerbong politik Golkar keluar dari koalisi Jokowi.
Jika Golkar keluar dari koalisi PDIP, maka manuver ini akan segera diikuti oleh partai pendukung lainnya setelah selama ini ingin keluar tetapi tidak memiliki alasan politik. Penarikan diri dari mitra koalisi dengan alasan desakan publik, akan ditertawakan PDIP mengingat PDIP tahu persis semua partai hanya menjadikan suara rakyat sebagai dalih semata, sebagaimana PDIP berlaku demikian. Hanya saja, jika soal yang menjadi penyebab penarikan diri karena adanya penarikan mandat mitra koalisi dalam hal ini Golkar, maka partai lain semacam memiliki dalih untuk ikut keluar dari gerbong koalisi karena dipandang tidak solid lagi.
Inilah bencana politik bagi PDIP. Akan terjadi bedol deso, keluarnya mitra koalisi dari kungkungan PDIP baik dalam waktu dekat maupun menunggu waktu menjelang pemilu 2019. PDIP akan mendapat 3 (tiga) masalah serius yang terjadi secara bersamaan.
Pertama, menurunnya elektabilitas partai. Kedua, menurunnya elektabilitas Jokowi yang sebelumnya dianggap maskot partai yang menarik dukungan. Hari ini, Jokowi justru menjadi beban politik bagi elektabilitas PDIP. Ketiga, ditinggalkan mitra koalisi.
Peta politik ini realistis terjadi, selain oleh dan atas sebab efek tragedi tiang listrik namun juga disebabkan perubahan norma pemilu setelah dikeluarkannya UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu.
Dalam UU pemilu yang baru, pemilu untuk DPR, DPRD dan DPD dilaksanakan secara serentak bersamaan dengan Pilpres. Capres diajukan berdasarkan koalisi dari hasil perolehan suara partai pada pemilu sebelumnya, bukan berasal dari perolehan suara di pemilu 2019.
Hal inilah yang menyebabkan adanya irisan kepentingan dan irisan masalah, pada prosesi politik untuk mengerek tingkat keterpilihan partai dan kader partai, dengan calon Presiden yang diusung.
Dalam perjalanannya, sosok Jokowi akhir-akhir ini justru elektabilitas nya menuduh drastis. Kebijakan dzalim Jokowi, menyebabkan Umat mengambil suara koor untuk tidak memilih Jokowi di Pilpres 2019.
Kasus penangkapan ulama, habaib, aktivis Islam, kasus Pembiaran Penista agama, kebijakan dzalim pada rakyat pada soal listrik, BBM, mengobral aset negara, menumpuk Hutang, menaikan pajak dan menetapkannya pada banyak sektor, adalah sekelumit diantara banyaknya alasan kenapa umat tidak akan memilih Jokowi.
Jika partai dalam pemilu berkampanye untuk partai dan caleg partai secara bersamaan juga berkampanye untuk capres Jokowi, maka sah bagi umat untuk tidak ikut mencoblos caleg atau partai yang juga mengusung capres Jokowi. Keadaan ini tentu dilematis buat partai, tetapi secara realistis dan pragmatis partai akan menyelamatkan partai dan calegnya, ketimbang berjibaku konsisten mendukung Jokowi.
Maka untuk mempertahankan dan meningkatkan elektabilitas partai, seluruh partai mitra koalisi akan menjauhkan asosiasi politik dengan Jokowi dengan memutus tali koalisi. Artinya, pecahnya koalisi Jokowi tinggal soal waktu saja. Tinggal, seberapa jauh PDIP mampu dan memiliki daya intelektual untuk menjangkau realitas politik ini. [MO/bp].