Krisis Suriah: Dunia Hanya Peduli Cara Kami Mati!
Opini Bangsa - Saat misil Amerika menghantam pangkalan udara Suriah di Homs 6 April kemarin, rezim Assad masih melakukan rutinitasnya yang mematikan: menjatuhkan bom! Pada saat yang sama, Rusia terus menghantam pinggiran Idlib, Baldat Heesh. Beberapa rumah hancur, delapan orang meninggal, tiga diantaranya anak-anak, sedangkan sepuluh orang lainnya cedera.
Baldat Heesh cukup dekat dari Khan Sheikhun, di mana hampir 100 orang meninggal karena serangan senjata kimia pada tanggal 4 April. Saat masyarakat dunia masih fokus pada serangan biadab tersebut, dan juga respon AS atasnya, penduduk Idlib masih gemetar ketakutan di rumahnya karena bom barel masih terus memborbardir.
Banyak dari mereka yang frustrasi, mengapa harus menunggu sebuah serangan dengan senjata kimia untuk memaksa dunia mengeluarkan reaksi. Gas, bom, kelaparan, pengepungan, semua berujung pada hasil yang sama di Suriah.
Ada sebuah realitas yang mengejutkan di sana, setelah enam tahun perang berlangsung. Beberapa dari mereka mencoba untuk rasional: memilih untuk mati karena serangan gas dibanding tubuh tercerai berai oleh serangan bom berdaya ledak tinggi.
Ummu Ahmad, seorang ibu dari Khan Sheikhun harus rela kehilangan keponakannya yang baru berusia tiga tahun akibat serangan gas sarin. “Dunia terkejut oleh serangan kimia, tapi mereka belum paham,” tuturnya. “Bagi kami yang menjalani kehidupan selama enam tahun dalam pengepungan, kelaparan, dan serangan tak kenal henti dari Rusia dan rezim Suriah, ini hanyalah cara lain untuk mati. Tidak lebih dan tidak kurang.”
“Ini bukanlah masalah tentang bahwa ia dilarang secara internasional atau bagaimana ia membunuh. Karena pada akhirnya, hasilnya sama. Kami mati. Dan kami terus mati. Apakah kalian hanya peduli bagaimana kami mati atau kami sekarat?”
Ummu Ahmad memberikan refleksi yang mengerikan dari kepedihan yang dirasakan rakyat Suriah: “Kami lebih memilih mati dengan cara ini. Kami bisa mengubur anak kami dalam tubuh yang utuh, tidak perlu harus mencari potongan tubuhnya diantara puing-puing reruntuhan bangunan dan pecahan peluru.”
Beberapa dari mereka mencoba untuk rasional: memilih untuk mati karena serangan gas dibanding tubuh tercerai berai oleh serangan bom berdaya ledak tinggi.
“Dengan Berapa Banyak Cara Lagi Kami Harus Mati?”
Muadz Al-Shami, menyampaikan perasaan yang sama dengan Ummu Ahmad. Pasca serangan kimia di Khan Sheikhun, ia menulis: “Mengapa dunia meninggalkan kami dan bahkan sama sekali tidak melihat kami?”
“Tidak ada tipe kematian yang belum kami alami! Kematian dengan senjata kimia, kematian dengan penenggelaman, kematian dengan fosfor, kematian dengan roket, kematian dengan serangan udara, terpendam oleh reruntuhan, kematian karena kekurangan napas.”
“Tolong jawab, kematian semacam apa yang belum pernah kami rasakan? Berapa banyak cara kematian lagi yang harus kami hadapi?”
Mahmoud Othman, warga Khan Sheikhun lainnya, juga menceritakan: “Ada kejahatan yang bisa kalian lihat dan kejahatan perang lain yang kami hadapi yang tidak bisa dilihat. Kedua saudaraku dipenjara oleh rezim Assad sejak tahun 2013. Kami dengar kabar, mereka telah meninggal karena disiksa. Kabar lain menceritakan bahwa mereka mungkin masih hidup. Kami tidak tahu. Dunia mungkin tidak melihat mereka, namun kami tahu rezim Assad membunuh kami dengan lebih banyak cara dari yang bisa dilihat oleh dunia.”
“Ini bukanlah masalah tentang bahwa ia dilarang secara internasional atau bagaimana ia membunuh. Karena pada akhirnya, hasilnya sama. Kami mati. Dan kami terus mati. Apakah kalian hanya peduli bagaimana kami mati atau kami sekarat?”
Othman mengatakan bahwa serangan udara AS ke Homs menjadi garis merah bagi rezim Assad, tapi itu semua tidak menghentikannya dari membunuh dengan cara lain.
“Serangan udara AS hanya memberi garis merah bagi rezim Assad untuk tidak menggunakan senjata kimia. Namun, pesan bagi kami adalah bahwa Amerika Serikat ingin rezim Assad terus membunuhi kami asal tidak menggunakan senjata terlarang.”
Kisah Horor White Helmet
Para relawan sipil adalah salah satu pihak yang pertama kali datang setelah serangan kimia di Khan Sheikhun. Mereka banyak membantu selama terjadinya perang. Hamid Kutini, seorang relawan dari White Helmet bercerita tentang horor yang ia saksikan di hari itu.
“Tim penolong pertama yang datang saat kejadian bercerita kepada kami bahwa mereka mulai kehilangan kesadaran. Mereka meminta back-up, tapi mereka berpesan kepada kami agar hati-hati karena bisa jadi kami juga kena dampak dari gas. Ketika saya datang, orang-orang ada dimana-mana, kebanyakan dari mereka kehilangan kesadaran, banyak yang mulutnya mulai berbusa. Sangat menakutkan—kita bisa melihat nyawa keluar dari tubuh manusia. Pikiranku tidak bisa menolerir lagi. Saya mulai merasakan efek gas, dan saya takut itu membuatku kehilangan kesadaran juga.”
Kutini menceritakan bahwa jumlah yang tewas dan teracuni mungkin mencapai ratusan.
“Kami merawat 300 orang. Anak-anak dan orang tua paling sulit diselamatkan, tubuh mereka lebih lemah dan tidak bisa melawan racun tersebut.”
Serangan Ganda
“Saat saya mulai membawa anak-anak ke kantor kami, kantor kami diserang dari udara sampai sekitar 10 kali. Tapi, menyaksikan kondisi saat serangan kimia lebih berat bagi kami dibanding kami digempur dengan serangan udara selama lebih dari 45 menit. Beberapa orang yang kami selamatkan dari serangan kimia akhirnya terbunuh oleh serangan udara.”
Sumber lokal menceritakan bahwa Khan Sheikhun masih dihujani serangan udara, dan banyak warga setempat yang melarikan diri dari wilayah tersebut karena khawatir akan serangan kimia lanjutan.
“Kami lebih memilih mati dengan cara ini. Kami bisa mengubur anak kami dalam tubuh yang utuh, tidak perlu harus mencari potongan tubuhnya diantara puing-puing reruntuhan bangunan dan pecahan peluru.”
Kutini juga tidak habis pikir dengan ide bahwa senjata kimia lebih penting (untuk dikecam) dibanding bentuk serangan lainnya. “Apakah mati dengan bom barel lebih diterima, sedangkan mati dengan senjata kimia tidak? Apakah bisa diterima?”, tanyanya heran.
“Ini adalah serangan terburuk yang pernah saya alami karena ia memakan korban paling banyak. Tapi, kali ini kami tidak perlu mencari potongan tubuh manusia yang menjadi korban di antara pecahan peluru dan puing-puing reruntuhan akibat serangan bom barel.
“Setiap hari ada darah. Setiap hari ada kematian. Setiap hari ada pembantaian. Bahkan, saat saya sedang bicara sekarang, serangan udara masih berlangsung. Saya tidak setuju bahwa senjata kimia sebaiknya menjadi garis merah.”
“Tidak ada satupun pihak yang mencoba menghentikan pembantaian yang diarahkan kepada kami.” [opinibangsa.info / kn]