PDIP |
DETIK-DETIK TUMBANGNYA PDIP (MENUJU SAKRATUL MAUT)
Oleh: Nasrudin Joha
Mediaoposisi.com- Partai politik eksis ditandai oleh dua hal. Pertama, memegang tampuk kekuasaan. Kedua, mendapat dukungan umat. Partai yang didukung umat dan eksis di kekuasaan, adalah partai yang hidup dan sehat. Adapun partai, jika tidak memiliki kekuasaan apalagi tidak mendapat dukungan umat dipastikan partai dalam waktu dekat akan menemui ajal.
Untuk PDIP, memang benar hari ini kekuasaan ada pada PDIP. Tetapi tangguh waktu kekuasaan tinggal dua tahun saja. Jika dalam tenggang waktu dua tahun PDIP gagal mengkonsolidasikan partai untuk meraih dukungan umat, sulit bagi PDIP untuk mempertahankan eksistensinya.
Beberapa ajang Pilkada, sebenarnya dapat dijadikan tonggak untuk mengokohkan kekuasaan, sebagai penopang kekuasaan secara nasional. Realitasnya, beberapa jago-jago PDIP justru kalah dalam ajang Pilkada.
Ironis bahkan tragis, jago PDIP petahana juga tumbang. Banten, adalah contoh bagaimana PDIP tidak mampu memaksimalkan keunggulan komparatif sebagai petahana, untuk memenangkan Rano Karno. Padahal, dalam kalkulasi politik apapun, tidak ada yang mampu menampik kesimpulan bahwa petahana memiliki berbagai keunggulan, sarana, dana, kekuasaan, seharusnya mampu dikonsolidasikan untuk kemenangan.
Praktiknya, Jarang sekali -jika tidak bisa dikatakan mustahil- calon Penantang dapat mengalahkan calon petahana. Jika sampai terjadi, setidaknya hal ini menggambarkan dua hal. Pertama, ketidakmampuan petahana mengonsolidasi kekuasaan untuk memaksimalkan dukungan. Kedua, kehebatan penantang dalam mengkonsolidasikan kekuatan untuk menjungkalkan petahana.
Memang ada kemungkinan lain, yakni adanya faktor eksternal yang menjadi pemicu sentimen dukungan atau penolakan. Dan Matra politik ini, Realitasnya terjadi pasca peristiwa 212.
KALKULASI TIDAK JELI
bisa dipahami, politik era kini tidak mungkin lepas dari gizi politik. Tanpa nutrisi politik, sulit bagi partai untuk menggerakkan roda-roda partai. Untuk rapat saja, kader tidak jalan jika tidak ada uang bensin. Apalagi, untuk memenangkan kontestasi politik. Tidak ada yang gratis dalam politik, semua ada biaya.
Tidak ada spanduk gratis, baliho gratis, iklan gratis, stiker gratis, kaos gratis, atribut partai gratis, semua butuh biaya. Kekuatan partai -tidak bisa dihindarkan- dari kekuatan anggaran. Logika tanpa logistik, tidak akan pernah jalan.
Tetapi adakalanya partai berada di persimpangan jalan. Partai akan dihadapkan untuk memilih dua pilihan. Preferensi politik, dengan pilihan mengakses gizi politik dalam jumlah yang tidak terbatas. Atau, pilihan bersama opini publik, tegak bersama kehendak umat, dan meraih dukungan umat.
Kesalahan PDIP, dimulai pada ajang Pilkada DKI. Dukungan politik kepada Ahok, lebih diambil atas pertimbangan gizi politik, persiapan logistik 2019, dukungan para cukong, dan mengesampingkan kehendak dan aspirasi umat. Awalnya PDIP tidak melihat, kekuatan umat mampu berkonsolidasi untuk mengalahkan kekuatan gizi politik. Sepanjang semua media, sumber daya, kekuasaan, ada di tangan petahana, tentu kemenangan Ahok adalah keniscayaan.
Tetapi Ahok telah lancang, berani menggoyang kursi langit, dengan membaurkan ujaran penistaan pada konteks Pilkada DKI Jakarta. Jadilah Ahok sebagai common enemy umat. Pada saat itu, dengan berbagai dalih PDIP masih punya kesempatan bermanuver mundur. Tetapi ada daya, kesombongan, kejumawaan telah membawa PDIP pada pilihan politik pragmatis, meneruskan komitmen politik berdasarkan pertimbangan gizi politik.
Tumbangnya Ahok, meninggalkan getah pahit yang melekat pada PDIP. Pilkada Banten, kecipratan kualatnya. Petahana Banten, akhirnya juga dipaksa menyerah oleh Penantang.
KALKULASI POKOKNYA, SEBUAH KEJUMAWAAN POLITIK
Tidak sampai batas itu, dimasa injury time dimana PDIP bisa menggunakan waktu tangguh itu untuk berdamai dengan umat Islam, justru disikapi tidak etis. PDIP tegas menyatakan tidak takut ditinggalkan pemilih umat Islam, sebab dukungannya pada pengesahan Perppu Ormas.
Ini adalah manuver liar, mengumbar kejumawaan, penentangan dan tantangan pada geliat kebangkitan politik keumatan. Kontan saja, pernyataan ini menjadi sebuah blunder politik yang super fatal. PDIP nampaknya ingin lebih mendalami dan merasakan lagi betapa perihnya kekalahan, setelah sebelumnya kalah pada ajang Pilkada di berbagai daerah.
Saham kekuasaan PDIP tinggal 2 tahun, beberapa petahana dan jago PDIP di daerah berguguran, beberapa di daerah lain akan menyusul -dengan izin Allah-. Pada saat yang sama, sosok Jokowi yang dulu menjadi faktor peningkat elektabilitas PDIP, justru redup. Sosok Jokowi, justru menjadi beban politik dan elektabilitas PDIP.
Kegagalan pemerintahan Jokowi, kritik pengamat dan aktivis, menambah beban politik PDIP. Tadinya tugas PDIP hanya fokus untuk mempertahankan dan meningkatkan elektabilitas partai. Hari ini, PDIP juga mendapat beban tambahan: mengangkat dan mempertahankan elektabilitas Jokowi.
Ini bermula dari kalkulasi politik yang tidak berempati terhadap preferensi politik keumatan. PDIP kurang sensitif, bahwa era politik hari ini telah bergeser dari politik kepartaian menjadi politik keumatan. Kampanye-kampanye politik, tidak lagi hanya diserukan oleh partai pada masa kampanye pemilu. Umat, dimana ormas sebagai gerbong utamanya telah menjadikan hari-hari biasa, menjadi hari-hari politik.
Kampanye politik tidak lagi menunggu ajang pemilu dan Pilkada, apalagi Pilpres. Nyaris setiap hari, ujaran politik, fragmentasi, preferensi, agitasi, dukungan, penolakan, komitmen, dan berbagai aktivitas politik lainnya jamak kita temui setiap hari.
Inilah tanda-tanda sakratul maut PDIP. Tidak ada satupun partai, kekuasaan sebesar apapun, dapat memenangkan pertarungan politik melawan umat. PDIP, justru mengambil manuver politik serampangan, yang justru mempercepat ajalnya. Ibarat ayam yang disembelih, PDIP hari ini kita saksikan lari sana kemari, bergerak dengan kekuatan penuh, bukan menandakan kebangkitan, tetapi pertanda akan datangnya ajal. [MO/bp].