SETYA NOVANTO DAN BOBROKNYA HUKUM TRANSAKSIONAL ALA MANUSIA
Oleh: Iranti Mantasari, BA.IR
Aktivis Sekolah Pena Dakwah, Sarjana Hubungan Internasional
Mediaoposisi.com- Kembali publik dihebohkan dengan ‘drama’ Setya Novanto yang terus berusaha mangkir dari penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Setelah sebelumnya Setnov kabur dari panggilan KPK dengan dalih dirawat di Rumah Sakit, 16 November 2017 lalu, publik lagi-lagi mendapat kabar bahwa mobil yang ditumpangi Setnov mengalami kecelakaan karena menabrak tiang listrik ketika hendak ‘menyerahkan’ dirinya pada penyidik KPK terkait kasus korupsi penyelenggaraan e-KTP. Karena insiden itu, konon Setnov harus dirawat secara ‘intensif’ agar tak memperburuk kondisinya.
Meskipun demikian, KPK pada akhirnya tetap melayangkan surat penangkapan Setnov untuk ditahan di Rumah Tahanan KPK tertanggal 17 November – 6 Desember 2017 nanti. Namun, dengan alasan dirawatnya ia di Rumah Sakit, pihak yang berwenang mengurus kasus korupsinya, dalam hal ini kepolisian dan KPK menjadi tak bisa melakukan penyidikan hingga Setnov keluar dari ‘bentengnya’. Hal inipun jelas menimbulkan kegaduhan di publik, mulai dari media massa hingga media sosial. Pasalnya, publik sudah membaca akan kemana skenario kasus korupsi Setnov ini.
Aroma bebasnya Setnov dari jeratan kasus korupsi yang disebutkan merugikan Negara sebanyak 2,5 triliun sudah tercium oleh banyak pihak. Bagaimana tidak, pernyataan ‘kolega’ Setnov yang kini masih mendekam di bui atas kasus Hambalang sekitar tahun 2013-2014 lalu, Nazarudin, menekankan bahwa seberapapun kuatnya upaya menguak ‘daftar hitam’ Setnov, akan sangat sulit terealisasi dikarenakan backingan-an di belakangnya yang begitu kuat. Dari pernyataan Nazarudin tersebut, publik bisa menyimpulkan bahwa di mata hukum, Setnov adalah ‘The Invisible Man’, meskipun kejahatan yang dilakukannya sudah sangat jelas terindera.
Pernyataan Nazarudin tersebut semakin dikuatkan dengan apa yang dikatakan oleh salah seorang politisi Partai Golkar pada tahun 2016, Ahmad Doli Kurnia, bahwa Setnov itu dikenal sebagai “The Untouchable Man” di peradilan Indonesia. Hal tersebut dikarenakan rapinya jaringan yang dibangun oleh Setnov di aparat penegak hukum serta adanya dukungan politik dari istana dan ekonomi dari para taipan kepada Setnov.
Bobroknya Hukum Transaksional ala Manusia
Banyak sekali pelajaran yang bisa kita ambil dari hebohnya kasus Setnov akhir-akhir ini, bahwa sebenarnya hukum yang dibuat oleh manusia itu sangat lemah hingga dengan mudah bisa diperjualbelikan. Lolosnya Setnov dari kejaran KPK dengan berbagai alasan yang menggelikan sangat menunjukkan bahwa hukum yang berlaku di negeri ini begitu tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Hal ini bisa kita lihat beberapa kali dalam kasus wanita tua yang divonis beberapa tahun penjara karena mencuri singkong untuk mengganjal perutnya yang lapar. Tapi, penyidikan hukum secepat dan setegas kasus nenek itu tak akan kita temukan pada penyelesaian kasus para penjahat berdasi yang memiliki segepok uang dan sekelompok orang kuat di belakangnya.
Adanya hukum transaksional merupakan Crisis of Law atau krisis hukum yang sejatinya adalah buah dari bercokolnya kapitalisme berhaluan sekuler di perhelatan peradilan negeri kita saat ini. Kapitalisme yang mengutamakan modal untuk menggapai suatu tujuan jelas sangat menghalalkan tindakan transaksi atas hukum. Ditambah lagi dengan merebaknya virus sekulerisme di masyarakat yang membuat manusia, termasuk kaum Muslimin di dalamnya menjadi terlena dengan kemaksiatan, sehingga lupa bahwa Allah tak hanya memantau saat kita beribadah saja. Sudah terlalu banyak bukti yang dengan gamblang memperlihatkan betapa ‘murahnya’ penegakan hukum bagi mereka yang memiliki kekuasaan. Hukum transaksional ini tak perlu lagi melihat apa kasus yang dibawa, namun hanya perlu melihat siapa dan apa yang dimiliki untuk ‘menghapus’ kejahatannya.
Kuatnya jaringan yang dibangun di kalangan penegak hukum oleh Setnov dan pengaruhnya pada peta perpolitikan nasional, menjadi alasan yang wajar mengapa hingga saat ini ia masih bisa lolos dari hukum, meski kasus yang menjeratnya ini adalah kasus yang terjadi tahun 2011-2012 lalu. Para cukong kapitalis di balik Setnov yang ingin bisnisnya berjalan mulus, tentu tak akan membiarkan ‘perisai’nya bermasalah di mata hukum. Karena itu pulalah, selama rentang waktu 5-6 tahun, Setnov dengan nyamannya menampakkan diri di publik dan menunjukkan seakan-akan tak ada kasus apapun yang membuntuti dirinya di belakang. Hal ini jelas bukanlah masalah yang bisa didiamkan begitu saja.
Hukum transaksional ini telah mengizinkan para penjahat berdasi penyebab kerugian masyarakat yang tidak sedikit menjadi berani bertindak melawan hukum. Kejahatan mereka yang sebenarnya sudah jelas di pelupuk mata akan ‘lulus dari sensor’, selama mereka memiliki modal pelicin dan sokongan ‘bodyguard’ yang siap membela mereka. Perpaduan antara kapitalisme dan sekulerisme telah berhasil menciptakan hukum transaksional, juga individu-individu yang tak malu untuk menjadi lakonnya. Realita hukum seperti inikah yang kita inginkan untuk terus terlaksana di tengah masyarakat?
Saatnya Kembali Kepada Islam
Sebenarnya sudah banyak dari kita yang merasa gerah dengan tingkah polah para pemegang kekuasaan di negeri ini. Tapi, mereka seakan tak berdaya untuk membuat perubahan sehingga akhirnya tetap saja berdiam diri dan pasrah menerima keadaan. Saya katakan, sungguh tidak seperti itulah sikap seorang Muslim yang sejati. Karena hakikinya, seorang Muslim tak akan diam saat melihat kemungkaran terjadi di sekelilingnya. Ia akan senantiasa berdiri tegap dan tegas menolak setiap bentuk kedzaliman yang dipertontonkan kepadanya.
Manusia sebagai makhluk yang lemah tentu memiliki keterbatasan dalam banyak hal, termasuk dalam membuat hukum. Padahal, Allah telah berfirman dalam Qur’an Surah Yusuf ayat 40, yang artinya “Sesungguhnya, hukum itu hanya milik Allah”. Dari ayat ini, dapat kita pahami bahwa hanya Allah-lah yang berhak membuat suatu hukum, bahwa Allah-lah satu-satunya yang shahih untuk dijadikan rujukan ketika berhukum akan sesuatu.
Jika saja, gerahnya masyarakat dalam memandang bobroknya peradilan dan hukum transaksional ini dikuatkan dengan kesadaran akan hakikat Allah sebagai pembuat hukum, sejatinya mereka telah menemukan solusi yang hakiki atas permasalahan tersebut. Islam dengan seperangkat syariatnya telah mengatur perkara peradilan hingga ‘uqubat atau sanksi, demi terciptanya keadilan di tengah masyarakat dan keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala atas suatu kaum dan negeri.
Setelah menyaksikan betapa lemahnya hukum buatan manusia dalam menciptakan keadilan, masyarakat terutama kaum Muslimin sudah sepatutnya menyamakan suara untuk menerapkan Islam dalam tataran Negara. Islam sudah tidak pantas untuk dipandang hanya sebagai agama pengatur ibadah, namun di saat yang bersamaan kapitalisme dan sekulerisme telah berhasil menghancurkan sendi-sendi kehidupan. Pandangan bahwa Islam hanyalah agama ritual sudah saatnya disempurnakan dengan pandangan bahwa Islam merupakan mu’allajan musykilan atau solusi atas setiap problematika kehidupan manusia.
Namun, tegaknya Islam serta syariatnya tak mungkin terjadi dalam suatu Negara yang mengesampingkan wahyu Ilahi dalam menjalankan fungsinya. Ia hanya akan tegak melalui suatu institusi yang memang sudah digariskan oleh Allah dan dicontohkan oleh para pemimpin kaum Muslimin sebelumnya. Institusi tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah Khilafah Islamiyah. Oleh karena itu, kaum Muslimin seharusnya merapatkan barisan, menguatkan ukhuwah, dan menyatukan kekuatan untuk bersama-sama mewujudkan wa’dullah dan bisyarah Rasulullah, Khilafah Islamiyah atas manhaj kenabian ini. Wallahu a’lam bi ash-shawwab. [MO]