Apa Kata al-Qur`an tentang Pembubaran Dakwah dan Pengajian?
Opini Bangsa - DEWASA ini aksi pembubaran pengajian masih kerap terjadi. Lalu bagaimana al-Qur`an memandang fenomena pembubaran ini.
Perintah al-Qur`an tentang dakwah sudah jelas bagi orang Muslim:
ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِۖ وَجَـٰدِلۡهُم بِٱلَّتِى هِىَ أَحۡسَنُۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعۡلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦۖ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِينَ (١٢٥)
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmahdan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl [16]: 125)
Dari ayat tersebut, dakwah fi sabīli Rabb (Allāh), adalah suatu kewajiban yang dititahkan Allah kepada hambanya yang Muslim (dengan kualifikasi yang sudah digariskan). Orang-orang yang menghalang-halangi dakwah yang disampaikan da’i, dalam al-Qur`an disebut “shāddun ‘an sabīlillah” (menghalang-halangi orang dari jalan Allah). Bila ditelusuri dengan cermat mengenai ancaman orang yang menghalang-halangi dakwah fi sabilillah terhitung sangat berat.
Setidaknya, ada sepuluh poin (10) yang bisa disebut pada tulisan ini: Pertama, mendapat siksa di Neraka Wail (QS. Ibrahim [14]: 2-3). Kedua, memiliki kesamaan dengan sifat kebanyakan ulama Yahudi dan Nashrani (QS. At-Taubah [9]: 34). Ketiga, merupakan karakter menonjol orang munafik (QS. An-Nisa [4]: 61). Keempat, mendapat laknat Allah (QS. Al-A’raf [7]: 44-45). Kelima, dosanya lebih besar daripada membunuh (QS. Al-Baqarah [2]: 217)
Keenam, dosanya tak kan diampuni (QS. Muhammad [47]: 34). Ketujuh, amalnya terhapus (QS. Muhammad [47]: 32). Kedelapan, amalnya akan sia-sia (QS. Muhammad [47]: 1). Kesembilan, ditambah siksaannya di neraka dengan siksaan yang amat pedih (QS. An-Nahl [16]: 88). Kesepuluh, disebut sebagai orang yang nyata sesatnya (QS. An-Nisa [4]: 167)
Al-Qur`an bukan hanya menunjukkan efek negatif yang akan menimpa para penghalang dakwah, tapi juga memberi contoh konkret dari sejarah. Kisah “Ashābul-Ukhdūd” (penggali parit) misalnya, yang terdapat dalam Surah Al-Buruj [85] ayat 4-9. Melalui “tangan kekuasaan” mereka menghalang-halangi menyebarnya dakwah tauhid sampai melakukan tindakan-tindakan anarkis, bukan hanya pembubaran, bahkan menggali parit besar diisi kayu bakar yang kemudian dinyalakan sebagai ancaman bagi siapa yang menerima dakwah.
Ibnu Hisyam dalam Sīrah-nya (1375: 35) menyebutkan tokoh-tokoh dalam kisah “Ashābul-Ukhdūd”. Ringkasnya, pra Islam, di kota Najran ada seorang dai shaleh murid Faimiyun yang memeluk agama ajaran Nashrani yang masih hanif. Najran yang sebelumnya adalah kota yang dikenal dengan kesyirikan dan paganismenya, menjadi bidikan dai muda yang bernama Abdullah bin Tsamir ini. Dakwah yang dilakukannya lambat laun segera menyebar luas ke seantero Najran.
Mendengar berita tersebut, penguasa Najran naik pitam. Dipanggillah Tsamir, bahkan disiksa dengan berbagai siksaan agar ia tidak berdakwah tauhid lagi. Usaha mereka untuk membunuhnya selalu gagal. Tsamir pun memberi saran kepada mereka, “kalau mau membunuhku sebenarnya gampang.” Penguasa Najran pun penasaran, “Gimana caranya?” “Kumpulkan orang di suatu lapangan, ikat aku di tiang, kemudian sebelum memukulku, esakan(tauhidkanlah) Allah dan berimanlah kepada -Nya.” Tanpa berpikir panjang, Raja Najran pun memukul kepalanya dengan tongkat dan Tsamirpun gugur syahid.
Mungkin Raja Najran bangga telah berhasil membunuh Tsamir, namun yang tidak pernah dibayangkannya terjadi. Seluruh penduduk Najran yang menonton peristiwa ini, malah berbondong-bondong memasuki agama Tsamir yang masih hanif. Singkat cerita, Raja Najran semakin murka lalu diperintahkanlah pasukannya untuk membuat parit disertai kayu bakar dan kobaran api, untuk mengancam siapa saja yang berani memeluk agaman Tsamir. Pada peristiwa ini, banyak orang yang gugur syahid di jalan Allah dalam mempertahankan kebenaran.
Terlepas dari kebenaran riwayat cerita ini, yang jelas, dalam Surah Al-Buruj [85] ayat 4-9, secara tegas digambarkan bagaimana ancaman nyata bagi orang yang merintangi dakwah dan menyiksa orang-orang beriman. Orang yang melakukan tindakan demikian dilaknat Allah dan mendapat celaan. Padahal, kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang yang dibakar itu –sebagaimana penuturan al-Qur`an- hanya satu, yaitu: beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa dan Terpuji. Dengan kata lain, sejatinya mereka tidak bersalah, tapi karena faktor kebencian, mereka dihalang-halangi untuk meyakini kebenaran yang diimani.
Cerita-cerita yang dipaparkan tadi dalam konteks mengenai sikap orang kafir dan munafik dalam terhadap orang beriman. Mereka merintangi, menghalangi orang-orang dari jalan Allah Subhanahu Wata’ala. Bisa dibayangkan, jika orang kafir dan munafik yang melakukan tindakan demikian saja mendapat murka dan laknat Allah, lalu bagaimana dengan orang yang sesama Muslim, atau mukmin tapi hobinya membubakarkan dakwah, pengajian saudara semuslimnya hanya karena perbedaan yang sebenarnya bisa dikomunikasikan dengan baik? Wallāhu a’lam. [opinibangsa.info / htl]