-->

Pengesahan Perppu Ormas, Momentum Politik Baru

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat
Advertisemen


Oleh: Abdus Salam - Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD)

Pengesahan Perppu Ormas menjadi UU Ormas telah melewati voting paripurna DPR RI, 24 Oktober 2017. PDI P, Golkar, Hanura, Nasdem, Demokrat, PKB dan PPP adalah daftar parpol yang memuluskan jalan pengesahannya. Sedang Gerindra, PKS dan PAN menolaknya secara tegas. Pengesahan Perppu Ormas tersebut justru dilakukan pada saat aksi penolakan oleh berbagai ormas dalam Aksi Bela Islam 2410. Aksi itu akhirnya melahirkan rekomendasi konsolidasi umat untuk “Jangan Pilih Parpol Pendukung Perppu” dan “Jangan Pilih Pemimpin yang diusung oleh Parpol Pendukung Perppu” pada Pilkada 2018 dan Pileg - Pilpres 2019. Fenomena ini mirip dengan Pilkada DKI untuk “Tolak Pemimpin Kafir”. Jika dicermati secara detil ternyata daftar parpol pendukung Perppu sama dengan daftar parpol pendukung Pemimpin Kafir si Penista Al Qur'an.

Pengesahan Perppu Ormas telah menjadi momentum politik baru. Mengingatkan kembalinya UU Ormas No 8 tahun 1985 yang represif jaman Orde Baru. Meski rasionalisasinya disampaikan. Memberi kesempatan untuk Judicial Review di MK dan ajuan di PTUN dianggap sebagai implementasi dari “due process of law”. Ironisnya itu dilakukan pasca pembubaran melalui pencabutan status badan hukum. Dengan tafsir tunggal oleh pemerintah atas ormas yang dinilai Anti Pancasila. Tidak saja mengatur pembubaran ormas tetapi Perppu yang baru disahkan berisi tentang sanksi pidana berat kepada anggota atau pengurus dari ormas yang dibubarkan. Luar biasa eksesif. Dan HTI menjadi korban pertamanya.

Di seputar sikap politik parpol atas pengesahan Perppu yang menjadi perhatian adalah pidato SBY. Bukan terkait dengan posisi Demokrat berikut langkah-langkah politiknya ke depan. Melainkan situasi politik yang sekilas dideskripsikan dalam pidato tersebut. 

Pertama, bahwa kekuatan politik parpol di parlemen terbelah menjadi dua. Sebagian besar mendukung Perppu. Sementara sebagian kecil menolak. Sama persis dengan konstelasi politik Pilkada DKI. 

Kedua, Opsi Petisi Politik oleh SBY adalah sinyal daya tangkap terhadap kemungkinan tingginya eskalasi politik seperti munculnya kembali Aksi Bela Islam 212 dengan jutaan massa. Jika ini terjadi maka akan menjadi momentum yang berpotensi menciptakan perubahan peta Pileg dan Pilpres 2019. Tidak sesuai dengan prediksi semula. Meski Pilkada 2018 telah diamankan sebagai jembatan pemenangan. Salah satu peneliti menyebut kecenderungan pemilih Indonesia lebih emosional daripada rasional. Apalagi tekanan sosial ekonomi semakin dirasakan oleh masyarakat.

Ketiga, Implementasi sanksi pidana terhadap anggota atau pengurus HTI sebagaimana pada substansi Perppu, berpotensi semakin menimbulkan kesan represifnya rezim dan upaya pembungkaman sikap kritis lawan politiknya. Di tengah berbagai kasus ketidak adilan dan kedzaliman hukum. Kesan ini sangat mengkhawatirkan bagi tingkat elektabilitas parpol maupun calon pemimpin yang diusungnya. Respon SBY atas bully kepada para kader Demokrat mengonfirmasi kekhawatiran ini. 

Keempat, logika politik begitu sangat dinamis, un predictable dan tidak linear. Asumsi pemenangan pilkada sebagai bridging pemenangan pileg dan pilpres tidak sepenuhnya benar. “Ahok Effect” akan menjadi sebuah catatan penting yang berada dalam benak kaum muslimin secara kuat. Pengesahan Perppu Ormas semakin menegaskan sikap politik rezim penguasa yang tidak berubah sejak aksi bela islam I hingga kini. 

Kelima, pemetaan kekuatan parpol yang kontra terhadap Perppu seharusnya menyiapkan dan memanfaatkan momentum ini sebagai daya tarik simpatik konstituen. HTI dengan segala prinsip dan keunikannya sebagai korban Perppu bisa menjadi pintu masuk melakukan edukasi umat tentang arti penting hakekat sebenarnya aspirasi politik umat islam dalam berbagai kontestasi politik. Bukan sekedar memilih orang maupun parpol melainkan menjadikan perjuangan penegakkan syariah islam sebagai bagian tidak terpisah dari aspirasi. Butuh sinergitas antara kekuatan intra maupun ekstra parlemen demi merealisasikan kepentingan tersebut. Ingat ! definisi terorisme saat ini tidak pernah berubah dalam kacamata barat. Sebagai paham yang diperjuangkan individu maupun kelompok untuk tegaknya syariah islam baik melalui jalan parlemen maupun non parlemen. Mau sembunyi dalam gelanggang politik demokrasi maupun tidak secara kasat mata tetap dipandang sebagai ancaman barat berbasis Islamophobia. Sementara realitas perubahan secara empirik bisa saja terjadi di luar parlemen. Allahu a’lam bis showab. [IJM]

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments
close