-->

Cerdas ! Salamudin Daeng Ungkapkan Bagaimana Indonesia Diambang Kehancuran dari Aspek Ekonomi (Part 1)

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat
Advertisemen



Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng memberi ulasan mencengangkan kita. Dia punya data dan fakta tak biasa kita tau. Bahkan jika melihat dari paparannya, seperti tak masuk di akal manusia. Tapi mohon maaf artikel ini cukup panjang, akhirnya redaksi membaginya dalam 3 postingan.

Bagian Pertama


INDONESIA DALAM JURANG KETIMPANGAN, PUSARAN CHAOS, MENUJU KEJATUHAN YANG MENYAKITKAN



Kondisi Indonesia sepanjang tahun 2016 berhadapan dengan situasi ketimpangan ekonomi, keuangan dan ketimpangan pendapatan yang meningkat. Kondisi ini disebabkan oleh berbagai kebijakan ekonomi dan politik Indonesia yang terfokus pada upaya upaya mengejar pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada pengembangan mega proyek infrastruktur. Garis kebijakan pemerintah telah memicu konsentrasi sumber sumber ekonomi tanah, keuangan dan pendapatan pada sekelompok kecil orang.

2.1. Ketimpangan Meningkat

Masih ingat strategi orde baru dalam mengatasi Ketimpangan? Trickle down effect, strategi yang menuai kecaman dari banyak orang karena dianggap sebagai penghinaan terhadap kemanusiaan. Bagaimana mungkin ratusan juta rakyat hanya mendapatkan tetesan dari kemakmuran.?

Namun ternyata sejak era reformasi yang konon katanya adalah anti tesa terhadap kebijakan pemerintahan Soeharto, ternyata ketimpangan ekonomi kian menjadi jadi. Bahkan tetesan ke bawah pun tertutup. Sebagian besar kekayaan negara, seperti tanah, keuangan dan pendapatan mengalir ke atas, terkonsentrasi di atas dan mengalir ke atas. Kemana ? yakni ke tangan asing dan segelintir taipan dan terus berputar di lingkungan mereka sendiri.

a. Penguasaan tanah

Tanah merupakan unsur paling penting dalam ekonomi. Tanah merupakan faktor produksi utama. Lebih jauh lagi tanah merupakan unsur utama bagi eksistensi suatu bangsa. Tanpa tanah maka bangsa itu tidak ada. Tanpa tanah maka masyarakatnya akan lenyap dengan sendirinya.

Dalam filosofi Jawa dikatakan sedumuk batuk senyari bumi yang artinya sejengkal tanah dioertahankan sampai mati. Karena tanah adalah eksistensi dan kehormatan. Sehingga tanah tidak boleh direnggut dari rakyat. Sehingga tanah harus dijamin ketersediaan oleh negara bagi seluruh rakyat.

Apa yang terjadi dalam era reformasi? Tanah berada dalam penguasaan minoritas. Tanah secara perlahan lahan jatuh dalam genggaman minoritas asing dan segelintir taipan. Tanah berpindah dari negara ke tangan segelintir orang melalui pemberian berbagai hak penguasaan atas tanah yang diatur dengan UU negara.

Tanah yang dikuasai dalam bentuk hak penguasah atas tanah oleh asing dan taipan saat ini seluas 178 juta hektar. Seluas 140 juta hektar merupakan wilayah daratan atau sekitar 72 % dari luas daratan Indonesia. Seluruh tanah tersebut dikuasai oleh perusahaan besar asing dan taipan dalam berbagai bentuk hak penguasaan tanah.

Pemerintah telal mengalokasikan tanah dalam bentuk kontrak kerjasama migas (KKS) seluas 95 juta hektar sebagian besar di darat yakni sebanyak 60 % dari total KKS atau sekitar 57 juta hektar. Kontrak tambang mineral dan batubara seluas 40 juta hektar. Selanjutnya hak penguasaan tanah yang diberikan dalam bentuk ijin perkebunan sawit 13 juta hektar, ijin kehutanan dalam bentuk HPH, HTI dan HTR seluas 30 juta hektar.


<!--nextpage-->


Sebuah perusahaan swasta milik taipan bisa menguasai lahan seluas 2,5 juta hektar menurut versi beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan 1,5 juta hektar versi panglima TNI sebagaimana di sebut di majalah Forum Keadilan. Selain itu ada puluhan taipan besar di tanah air dengan skala penguasaan tanah yang sangat luas.

Ketimpangan dalam penguasaan tanah inilah yang seringkali menimbulkan konflik antara masyarakat melawan pengusaha dan pemerintah. selain itu hak penguasaan lahan yang sangat luas oleh asing dan taipan telah menimbulkan overlapping/tumpang tindih, sehingga kasus beberapa kabupaten kota di Indonesia menunjukkan luas ijin untuk berbagai kegiatan investasi telah melebihi luas wilayahnya.

Sementara lebih dari separuh rakyat Indonesia yang masih hidup dan bekerja di sektor pertanian hanya menguasai lahan sekitar 13 juta hektar yang terbagi dalam 26 juta rumah tangga petani dengan luas masing masing 0.5 hektar. Dengan demikian setiap petani hanya menguasai lahan rata rata 0.17 hektar per petani. Itulah mengapa tidak ada kegiatan usaha tani yang dapat meraih keuntungan dengan luas lahan yang sangat minim tersebut.

Penguasaan tanah dalam skala yang sangat luas oleh asing dan taipan ini yang menimbulkan keresahan masyarakat, mengingat berdasarkan UU yang berlaku yakni UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal menyebutkan bahwa jangka waktu penguasaan tanah oleh swasta bisa salam 95 tahun.

b. Minoritas Penguasa Keuangan

Gambaran tentang ketimpangan dalam keuangan tergambar dari simpanan orang di bank dalam bentuk rupiah. Data otoritas Jasa Keuangan menyebutkan Dana masyarakat yang disimpan dalam rupiah di bank umum, dan BPR mencapai Rp. 3,770 triliun dengan jumlah rekening keseluruhan sebanyak 186.168.335 rekening.

Ketimpangan dalam keuangan Jumlah rekening bank di Indonesia yang memiliki dana di atas Rp 2 miliar sebanyak 226.948 rekening, nilai simpanan Rp 2.609 triliun. sementara jumlah rekening di bawah Rp. 2 miliar rupiah sebanyak 185.936.387 rekening dengan nilai tabungan sebesar Rp. 1.161 triliun (September 2016).

Artinya kurang dari 1 % pemilik rekening bank menguasai 66 % tabungan di bank atau sebanyak lebih dari 99 % lebih pemilik rekening hanya menguasai 34 % tabungan di bank. Sementara rata rata nilai tabungan kurang dari 1 % pemilik rekening yang menguasai 66 % tabungan di bank adalah senilai Rp. 11,4 miliar setiap rekening. Sedangkan rata rata nilai tabungan 99 % pemilik rekening yang menguasai 34 % tabungan di bank adalah senilai rp. 7,3 juta setiap rekening.

Data diatas menggambarkan adanya ketimpangan yang sangat besar dalam struktur penguasaan tabungan dalam bentuk rupiah di Bank. Kurang dari 1 % penduduk Indonesia menguasai hampir 2/3 kekayaan keuangan nasional. sedangkan 99 % penduduk hanya menguasai sisanya. Sementara dari jumlah jumlah penduduk sekitar 60 juta orang yang tercatat memiliki rekening di bank atau hanya seperempat dari jumlah penduduk Indonesia. mereka yang tidak pounya rekening patut diduga tidak memiliki kemampuan keuangan sama sekali untuk dapat berhubungan dengan sektor perbankkan.

Ini belum termasuk tabungan atau simpanan dalam mata uang asing (valas) yang notabene dimiliki oleh glongan atas seperti asing dan taipan dan simpanan dalam instrument surat berharga lainnya sepertu surat utang negara yang sudah pasti dimiliki oleh pemodal besar.

Alokasi krdit perbankkan dalam bentuk rupiah dan valuta asing juga memperlihatkan struktur ketimpangan yang sangat dalam. Dari total kredit dalam bentuk rupiah dan valas yang dialokasikan oleh sektor perbankkan senilai Rp. 4.224 triliun, sebanyak 81,58 % dialokasikan bagi kegiatan usaha skala besar. Hanya senilai 781,90 triliun yang dialokasikan bagi usaha kecil menengah atau hanya 18,42% dari total kredit. Padahal usaha kecil menengah inilah yang selama ini memberikan kontribusi besar bagi perekonomian negara.

Sementara usaha usaha besar hanya terkonsentrasi pada segelintir pihak asing dan para taipan. Kelompok usaha besar ini sangat haus pada pinjaman dan seringkali pinjaman mereka tidak didasarkan pada stusi kelayakan yang baik. akibatnya sangat rentan pada pengaruh krisis. Pada saat krisis terjadi beban utang mereka dipindahkan kepada kepada negara dan menjadi tanggung jawab seluruh rakyat.

c. Kesenjangan Pendapatan

Ketimpangan dalam penguasaan tanah dan distribusi keuangan pada ujungnya akan bermuara terhadap ketimpangan di dalam pendapatan. Ketimpangan pendapatan ini secara kasat mata terlihat dalam kehidupan masyarakat sehari hari.

Secara garis besar dapat ditunjukkan oleh keadaan yakin pertumbuhan ekonomi Indonesia dari tahun terus mengalami pertumbuhan, namun pada saat yang sama jumlah orang miskin terus mengalami peningkatan yang seringkali disebut dengan pertumbuhan yang tidak berkualitas, semakin kurang berkualitas dibandingkan dengan era sebelum reformasi.
Sepanjang orde baru berkuasa Ketimpangan ekonomi nasional yang ditunjukkan oleh gini coenfisien hanya 0,31 (Koefisien Gini tahun 1999) artinya 31 persen. Angka ketimpangan seringkali digunakan sebagai bahan argumentasi untuk mengkritik kebijakan pemerintahn Soeharto yang dipandang berpihak pada modal besar.

Namun yang terjadi dalam era reformasi ternyata jauh lebih buruk lagi. Sekarang sejak era reformasi ketimpangan pendapatan meningkat dari 0.31 tahun 1999 menjadi 0.41 pada tahun 20015. Daerah daerah seperti DKI Jakarta ketimpangan pendapatan dapat mencapai 0.43 menurut data resmi BPS. Artinya 43% pendapatan daerah setahun jatuh ke tangan kelompok kecil orang pada lapisan teratas dari mayarakat. Mengerikan sekali.

Bahkan ketimpangan dalam distribusi kekayaan jauh lebih besar. Beberapa survey independen menyebutkan ketimpangan kekayaan ini mencapai 0.70, artinya 70 persen kekayaan nasional dikuasai lapisan ekonomi atas.. Kondisi ini merupakan angka ketimpangan yang bersifat ekstrim dan tidak bisa ditoleransi.

Siapa mereka yang menguasai kekayaan nasional tersebut? Mereka adalah minoritas modal asing dan taipan yang mengendalikan keuangan, perdagangan dan bahkan sekarang telah sanggup mengendalikan APBN. Sepanjang era reformasi APBN menjadi ajang bancakan oligarki penguasa bersama para taipan sebagai ajang bisnis mereka. Itulah mengapa APBN Indonesai tidak memiliki lagi kemampuan untuk mensubsidi rakyat.

2.2. Kondisi Fiskal Memburuk

Dalam suasana puasa dan menjelang Idul Fitri pemerintah dan DPR mensyahkan dua Undang Undang yakni UU APBN Perubahan (APBN-P) tahun 2016 dan UU Tax Amnesty. Disaat perhatian publik tertuju pada mudik lebaran yang merupakan kebiasaan tahunan di Indonesia, Pemerintah dan DPR menggunakan justru kesempatan tersebut untuk bertindak sendiri. Dua kebijakan penting bagi bangsa, negara dan rakyat Indonesia tersebut sama sekali tidak meminta masukan dari publik yang merupakan persyaratan utama dalam penyusunan UU.

Mengapa Pemerintah dan DPR membuat APBN Perubahan? Karena seluruh target dan asumsi yang ditetapkan dalam APBN 2016 jauh meleset. Pendapatan pemerintah baik dari pajak maupun Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) jauh berkurang dari jumlah yang ditaergetkan. Akibatnya target pengeluaran dalan APBN 2016 juga sulit untuk direalisasikan. Ketidakpastian dalam rencana anggaran pemerintah inilah yang mendorong pemerintah untuk mengusulkan APBN-P kepada DPR.

Salah satu strategi pemerintah untuk mengejar target penerimaan negara adalah dengan mendorong UU Tax Amnesty. Mengapa ? karena langkah intensifikasi pajak dan ekstensifikasi pajak tampaknya tidak akan dapat mencapai target yang diharapkan pemerintah. Meskipun pemerintah telah merevisi besarnya pengeluaran dalam APBNP 2016 namun target tersebut masih tetap tinggi dan memerlukan langkah terobosan. Padahal pemerintah telah merencanakan pengeluaran yang cukup besar untuk dua hal paling menonjol dalam APBNP 2016 yakni mega proyek infrastuktur dan Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pemerintahan Jokowi melihat Tax Amnesty sebagai strategi utama untuk mendapatkan dana dalam jumlah yang sangat besar untuk merealisasikan target ambisius mega proyek yang dijanjikan kepemrintahan ini kepada investor.

a. Target APBN yang Ambisius


<!--nextpage-->

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (ABNP-2016) sudah diketok palu. Pemerintah dan DPR menetapkan Pendapatan Negara dan Hibah dalam APBN-P tahun 2016 sebesar Rp1.786,2 Triliun dan Belanja Negara ditetapkan sebesar Rp 2.082,9 Triliun. Sementara target defisit anggaran dalam APBN–P tahun 2016 ditetapkan sebesar Rp296,7 Triliun (atau 2,35 persen terhadap PDB).

Perencanaan anggaran diatas sangatlah ambisius, tidak jauh berbeda dengan periode sebelumnya. Mengapa dikatakan demikian ? Target Penerimaan negara dari pajak ditetapkan sebesar Rp. 1.539,2 trilun. Target ini sudah pasti tidak akan tercapai. Mengingat realisasi penerimaan pajak pemerintah sepanjang tahun 2015 hanya mencapai Rp 1.055 triliun atau 81,5 % dari target Rp 1.294,25 triliun dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015. Dengan demikian maka target kenaikan pajak pemerintahan Jokowi tahun 2016 itu mencapai 46 % dibandingkan realisasi tahun 2015. Ini merupakan target yang kurang realistis.

Demikian halnya dengan penerimaan negara bukan pajak APBNP 2016 ditargetkan sebesar Rp. 245,1 triliun yang salah satunya bersumber dari penerimaan migas senilai Rp. 68,7 triliun. Angka ini memang merupakan penurunan yang sangat besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Sebagai contoh penerimaan migas tahun 2014 mencapai Rp. 216.9 triliun. Penerimaan negara bukan pajak secara keseluruhan mencapai Rp. 400 triliun.

Jika kita mendasarkan penerimaan migas dan penerimaan sumber daya alam sebagai indikator utama ekonomi indonesia, penetapan target penerimaan negara Jokowi dalam APBNP 2016 sebesar Rp. 1.786 triliun atau meningkat dari realisasi 2015 yakni sebesar Rp. 1.491 trilun, dapat dikatakan sebagai target yang kurang realistis. Hal ini disebabkan kondisi ekonomi Indonesia tahun 2016 terus memburuk dibandingkan tahun 2015.

Sementara target utang pemerintah dalam APBNP 2016 sebesar Rp. 296,7 triliun mengalami peningkatan dari APBN 2016 Rp. 273,2 triliun atau meningkat sebesar 8,6 %, selain akan menambah beban negara di masa mendatang, juga tidak akan menutup defisit anggaran pemerintahan Jokowi yang sangat besar.

Sehingga untuk mengejar target belanja negara sebesar Rp. 2.082 triliun, pemerintahan Jokowi membutuhkan utang yang sangat besar. Bila melihat kondisi ekonomi sekarang, maka tidak mungkin kebutuhan sebesar itu dapat diperoleh dari pajak maupun penerimaan negara bukan pajak. Dengan demikian untuk mengejar target belanja negara super besar tersebut pemerintahan Jokowi membutuhkan sumber dana alternative salah satunya adalah tax amnesty.

Muncul pertanyaan ; Pertama, mengapa pemerintah memaksakan diri dengan pengeluaran yang besar. Kedua, mengapa tax amnesty yang menjadi pilihan utama bukan intensifikasi atau ekstensifikasi pajak?, Ketiga, bagaimana konsekuensi kebijakan anggaran semacam itu terhadap peraturan perundangan yang berlaku, konstitusi dasar UUD 1945 dan rasa keadilan bagi masyarakat ? Hal itulah yang harus diulas secara lebih jernih.

b. APBN Tersandera Cukong Proyek

Kebijakan pemerintah yang menetapkan target pengeluaran dalam APBN yang sangat besar berpotensi merugikan pemerintah sendiri. Mengapa ? jika target penerimaan tidak tercapai maka pemerintah akan berhadapan dengan melebarnya defisit APBN yang jika melebihi ketetapan UU maka dapat menimbulkan konsekuensi pemerintahan Jokowi dimakzulkan.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara Pasal 12 ayat (3) Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Undang-undang tentang APBN. Di dalam penjelasan pasal tersebut di sebutkan bahwa defisit anggaran dimaksud dibatasi maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto dan jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Padahal jika pemerintah bertindak realistis dalam menentukan target pengeluaran, maka pemerintahan Jokowi tidak perlu berhadapan dengan ancaman impeachment oleh Parlemen. Lalu muncul pertanyaan mengapa pemerintah melakukan langkah yang nekad semacam itu.

Ada beberapa kemungkinan yakni, pertama; bahwa pemerintah masih berharap utang luar negeri yang sangat besar untuk menutup defisit anggaran agar sumber pembiayaan tersedia. Jika patokan UU menetapkan maksimum 60 % PDB, maka pemerintah memiliki peluang untuk mengambil utang luar negeri hingga 4000 trilun dan itu adalah peluang yang sangat lebar. Namun langkah semacam itu tentu saja akan menuai protes dari berbagai kalangan. Selain itu peluang untuk mendapatkan utang sebesar itu ditengah liquiditas global yang sangat ketat, bukan merupakan langkah yang mudah.

Kemungkinan kedua adalah ; pemerintah sudah tersandera oleh kesepakatan untuk membangun mega proyek infrastruktur seperti listrik, tol, dan berbagai mega proyek lainnya. sejak semula proses perencanaan berbagai mega proyek ini diduga melalui proses suap baik kepada anggota DPR maupun kepada oknum pemerintahan. Sehingga Pemerintah dan DPR tidak lagi dapat menghindar dikarenakan oknum pemerintahan dan DPR telah terikat janji dengan para kontraktor proyek.

Ketiga ; pemerintah dan DPR hendak menyediakan anggaran bagi penyertaan modal ke dalam BUMN untuk membiayai proyek proyek infrastruktur. Proyek yang umumnya dilaksanakan melalui kerjasama pemerintah dan swasta tersebut berkaitan dengan perusahaan perusahaan elite penguasa dan partai politik. Penyertaan modal negara ke dalam BUMN akan menjadi lahan bancakan yang besar elite politik penguasa sekarang dalam mengumpulkan sumber dana baik untuk persiapan Pilkada serentak 2017 maupun Pemilu 2019 mendatang.

Itulah mengapa pemerintah dan DPR nekad bertahan dengan target pengeluaran yang ambisius dalam APBNP 2016. Target yang secara kasat mata tidak mungkin dapat dicapai dalam situasi ekonomi global dan nasional yang tengah lesu. Segala daya upaya akan dilakukan untuk mendapatkan uang, termasuk dengan membuat UU yang akan menjadi sumber korupsi dan pemerasan yang luar biasa yakni UU tax amnesty.

c. Tax amnesty ; Legalisasi Kejahatan

Undang Undang Tax Amensty merupakan UU yang paling cepat pembahasannya sepanjang sejarah republik Indonesia. Secepat kilat pemerintah dan DPR mensyahkan UU ini. Bahkan beberapa kalangan pemerintah dan anggota DPR seperti “orang kerasukan” terbius membayangkan uang yang akan masuk lewat program tax amnesty tersebut.

Pemerintah dan DPR sama sekali tidak membuka ruang aspirasi publik dalam proses penyusunan UU ini. Meskipun keterlibatan publik dalam proses penyusunan UU merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi. Bahkan naskah akademik UU ini diduga abal-abal, yakni tidak berdasarkan pada kajian akademis yang memadai. Kuat dugaan uang mengalir triliunan rupiah ke DPR untuk mensyahkan UU ini.

Tidak tanggung-tanggung pemerintah menetapkan target penerimaan tax amnesty yang sangat spektakuler yakni sebesar Rp. 165 trilun. Nilai bersih yang akan diterima oleh APBN sebagai pembayaran denda sebesar 2 % atas pemutihan skandal pajak para pengemplang pajak. Dengan demikian uang yang akan mengalami pembersihan aset atau kekayaan sekurang kurangnya adalah sebesar Rp. 8.250 triliun.

Target APBN dari penerimaan tax amnesty sangatlah besar. Tidak dapat dibayangkan skandal pajak sebesar itu telah terjadi di Republik Indonesia. Jika ini benar terjadi maka betapa buruknya kinerja kementrian keuangan dan direktorat perpajakan selama ini. Banyak para analis menyangsikan target tax amnesty yang akan diselesaikan dalam tahun anggaran 2016 dapat mencapai Rp. 8250 trilun.

Namun boleh jadi uang yang akan mengalami legalisasi tersebut tidak seluruhnya merupakan hasil dari pengemplangan pajak. Boleh jadi juga bersumber dari dana-dana hasil bisnis illegal yang selama ini beredar. Sebagaimana dikatakan Menteri Keuangan yang menyatakan bahwa tax amnesty tidak memandang sumber dana yang masuk ke penerimaan pajak apakah haram ataupun halal, semuanya wajib bayar pajak. Menurutnya tax amnesty tidak menghapus pidana umum, tapi hanya sanksi pajak. Dengan demikian tidak akan menghalangi upaya mereka (KPK, Polri, PPATK), tapi tidak boleh gunakan data dari tax amnesty. (liputan 6.com, 27 Apr 2016). Dengan demikian sasaran tax amnesty juga termasuk uang haram hasil kriminal.

Tidak hanya itu, Menteri Keuangan juga membuat asumsi yang tidak kalah spektakuler. Bambang Brodjonegoro menyebutkan potensi uang orang Indonesia yang beredar lebih dari Rp 11.400 triliun. “Potensinya lebih besar daripada GDP (gross domestic product). GDP kita kan Rp 11.400 triliun,” ujarnya saat ditemui dalam seminar bertajuk "RUU Tax Amnesty" di Hotel Pullman, Jakarta, Selasa, 5 April 2016. Bambang mengungkapkan, jumlah tersebut merupakan akumulasi dari uang yang diinapkan di luar negeri sejak 1970, bukan uang yang 2-3 tahun lalu baru masuk. Dia berujar, uang itu sudah masuk sejak 1970-an. Angka tersebut, kata Bambang, berasal dari akumulasi atau perhitungan harta kekayaan pengusaha-pengusaha kaya Indonesia yang sudah memarkir uangnya di luar negeri sejak 1970-an. (Tempo.co, Selasa, 05 April 2016).

Statemen menteri keuangan tersebut mengidikasikan bahwa pemerintah mengharapakan dari sumber repatrisasi asset dari luar negeri. Uang inilah yang diharapkan akan dipindahkan oleh pemiliknya kembali ke Indonesia. Ada beberapa kemungkinan mengenai asal usul dari dana yang tersimpan di luar negeri tersebut yakni; pertama dana yang diperoleh dari hasil korupsi, seperti dana hasil mega korupsi BLBI, Century, mafia pajak dan korupsi APBN. Kedua, Dana yang ditempatkan di luar negeri dalam rangka menghidari pajak tinggi di dalam negeri, dana ini bersumber dari keuntungan berbagai kegiatan usaha di dalam negeri. Ketiga, dana yang memang secara sengaja di tempatkan di luar negeri dalam berbagai instrumen investasi dalam rangka mengejar keuntungan.

Dengan demikian secara garis besar ada tiga sumber keuangan yang diicar pemerintah dalam program tax amnesti yakni ; Pertama dana yang berasal dari pengemplangan pajak di dalam negeri yang terjadi selama ini. Kedua dana yang bersumber dari binis illegal di dalam negeri seperti prostitusi, judi, trafficking, money laundry, korupsi, narkoba dan lain sebagainya. Ketiga ada yang disimpan di luar negeri yang diduga sebagai hasil kejahatan di Indonesia .

Jika melihat sumber dana tersebut maka dapat disimpulkan bahwa negara melakukan legalisasi terhadap kejahatan serius yang dilakukan oleh para koruptor, penjahat criminal dan sejenisnya. Pemberian tax amnesty kepada mereka akan membawa konsekuensi masuknya uang illegal ke dalam institusi legal. Hal ini juga berarti negara mengakui bisnis illegal sebagai bisnis yang dapat dilakukan di Indonesia, karena sewaktu waktu bisa memperoleh tax amnesty.

d. Pembayar Pajak yang Taat Justeru Diperas

<!--nextpage-->

“Wajib pajak yang baik dan setia makin diperas, sementara para penjehat dan criminal diampuni” Inilah kesimpulan umum tentang UU tax amnesty yang baru baru ini disyahkan Pemerintah dan DPR.

Bagaimana tidak ? saban hari rakyat yang berusaha dengan legal diburu oleh petugas pajak. Bahkan petugas pajak berani lancang dengan membuka laci tempat usaha orang orang. Rakyat Indonesia mengeluhkan pajak dan cukai yang naik setiap tahun. Demikian halnya dengan konsumen yang selalu setia membayar sekurang kurangnya 10% dari setiap mereka mengkonsumsi barang dan jasa. Banyak pengusaha mengaku diperas oleh aturan perpajakan namun tidak bisa melawan.
Salah satunya adalah pengusaha tembakau dan rokok. Sektor ini selalu menjadi bulan bulanan pemerintah untuk mengeruk penerimaan. Karena selalu diancam dengan berbagai regulasi anti rokok dan tembakau, pengusaha sektor ini selalu mengalah. Meskipun tidakan pemerintah akan membawa konsekuesi terhadap ambruknya industri ini.

Baru baru ini menteri keuangan melayangkan panggilan kepada pengusaha tembakau. Menteri keuangan merasa ngiler karena sektor tembakau dan rokok berhasil menyetorkan cukai kepada negara sesuai dengan yang ditargetkan pemerintah. Padahal sejak era pemerintahan Jokowi cukai tembakau telah meningkat hampir 50%. Menteri keuangan meminta pengusaha tembakau agar membayar cukai tahun 2016 untuk dilunasi pada bulan September 2016 atau lebih awal 3 bulan dari yang seharusnya. Artinya pengusaha diperas untuk menutupi kekurangan anggaran pemerintah.

Apa yang dilakukan pemerintah kepada pengusaha sektor tembakau dan rokok merupakan salah satu contoh bagaimana sektor yang taat membayar kewajiban dan merupakan binsi legal justru menjadi sasaran pemerasan pemerintah. Nasib industri tembakau sama dengan caffee, kios dan warung pinggir jalan yang saban hari diburu pajak dan dengan setia membayar. Sementara para pengemplang pajak dan bahkan bisnis illegal akan diampuni oleh pemerintah dan dibebaskan dari pajak.

Tidakan pemerintah tersebut jelas mencederai rasa keadilan dan melanggar asas perlakuan yang sama bagi setiap warga negara. Lebih parah lagi pemerintah justru memanjakan para pebisnis gelap dan illegal. Semestinya harta kekayaan mereka disita oleh negara karena merupakan hasil dari kejahatan. Tindakan pemerintah dan DPR dengan membuat UU tax amnesty adalah kejahatan yang nyata kepada bangsa, negara dan rakyat Indonesia.

Pengalaman berbagai negara menjalankan Tax Manesti ditujukan dalam rangka pemulihan ekonomi dan perbaikan industri bukan dalam rangka pemalakan kepada para penjahat ekonomi. Program semacam ini merupakan bentuk stimulus dalam rangka menggairahkan ekonomi. Praktek tax amnesty dalam Pemerintahan Jokowi justru terbalik yakni instrument pemerasan pada penjahat ekonomi untuk menambal APBN.
Bahkan lebih jauh, tak amnesty di Indonesia memiliki orientasi kriminal, karena tax amnesty akan menjadi tempat untuk “laundry” dana dana hasil bisnis illegal seperti narkoba, cuci uang, pelacuran, penyeludupan dan juga korupsi. Jika di banyak negara tax amnesty berpotensi berdampak terhadap meningkatnya deficit anggaran, namun di Indonesia dampak sekaligus dari tax amnesty adalah defisit moral penyelenggara negara.

2.3. Utang BUMN Mengkuatirkan

Salah satu strategi pembiayaan pembangunan tertama dalam pembangunan infrastruktur yang dilakukan pemerintahan Jokowi adalah dengan mengerahkan BUMN. Sumber pembiayaan BUMN dilakukan dengan pembiayaan APBN (utang) dan pembiayaan BUMN internal BUMN sendiri yang juga lebih banyak diperoleh dari utang.

Sementara saat ini utang utang BUMN sebenarnya telah berada pada level yang cukup mengkuatirkan, terutama BUMN yang berkaitan erat dengan pemenuhan hajat hidup masyarakat. Berikit gambaran utang BUMN tersebut :

1. Krakatau steel memilili utang sebesar 1,617 juta US dolar atau sekitar Rp. 21,829 triliun, memiliki aset sebesar 3,072 juta dolar. Krakatu steel debt to equity ratio sebesar 90,79 % kondisi keuangan yang mengkuatirkan. Di tengah proyek pembangunan infrastuktur besar besaran yang dilakukan Jokowi ternyata krakatau steel yang seharusnya menjadi penyuplai utama kebutuhan bahan baku tidak mendapat keuantungan apapun. Perusahaan ini mengalami kerugian senilai 320 juta USD atau sebesar Rp. 4,32 triliun (laporan reuter 2015).

2. Bank mandiri memiliki utang senilai Rp. 45,08 triliun sedangkat aset 910,06 triliun pada tahun 2015. Dengan pendapatan bersig sebesar NET INCOME IN IDR 17.49 trilion.
Sebuah media internasional terkemuka mengatakan “Indonesia’s biggest bank is hurting but its boss is all smiles Kartika Wirjoatmodjo has taken the helm at Bank Mandiri as profits slide and bad loans balloon”

3. Bank BNI memiliki utang sebesar Rp. 49,99 triliun dengan aset Rp. 508,6 triliun, debt to equity ratio bank ini senilai 71,16 %. Pendapatan bersih 2015 sebesar Rp. 9,07 triliun.

4. Bank Tabungan negara memiliki utang sebesar Rp. 29,89 triliun, dengan aset 171,8 triliun. dengan debt to equity ratio senilai 194%. Pendapatan bersih bank ini sebsar Rp. 1,85 triliun. pada tahun 2015

5. Bank Rakyat Indonesia memiliki utang senilai Rp. 72,4 triliun, dengan aset sebesar Rp. 878 triliun. debt to eqiuty ratio sebesar 53,2 %. Pendapatan bersih perusahaan sebear Rp. 25,4 triliun pada tahun 2015.

Utang bank kepada lembaga keuangan global meningkat pada tahun 2016 dan ke China. Seperti diketahui, 3 bank milik negara mendapatkan pinjaman dari China Development Bank (CDB) senilai USD3 miliar atau USD1 miliar untuk masing-masing bank. (tahun 2016)

7. Indosat pada tahun 2015 memiliki utang sebesar Rp. 27,64 triliun. sementara aset perusahaan sebesar Rp. 55,39 triliun. mengalami kerugian sebesar 1,3 triliun pada tahun 2015.

8. Pertamina memiliki utang senilai 8,75 miliar dolar atau sekitar Rp. Rp. 118,125 triliun, aset pertamina 2015 mencapai 45,519 miliar dolar atau senilai Rp. 614,5 triliun. namun anehnya perusahaan ini dilarang mendapatkan keuantungan tapi diperolehkan mencari utang yang besar. Ini sama dengan menjual perusahaan ini dengan diam diam. Pertamina harus diselamatkan.

Besarnya utang BUMN tersebut akan semakin menghilangkan kesempatan BUMN untuk mengabdi pada kepentingan Negara dan rakyat. BUMN dimasa yang akan datang akan lebih sibuk mengurusi masalah mereka yakni meningkatnya kewajiban utang dan akan mendorong mereka jutru mengambil bagian untuk mencekik masyarakat dengan meningkatkan harga dari layanan public yang diberikan oleh BUMN tersebut.

a. Utang Bank BUMN Untuk Para taipan

NEGARA tengah sekarat, rakyat semakin susah. Dalam 6 bulan terakhir daya beli masyarakat jatuh. Tapi tidak dengan oligarkhi politik di sekitar pemerintahan Jokowi. mereka tidur di atas kasur uang.. Dari mana sumbernya? apakah pemerintah Jokowi dipercaya oleh pemberi utang ?

Pemerintah Jokowi bermandikan uang hasil utang. Para pemberi utang menawarkan uang seperti marketing kartu kredit. Ayo buat kartu kredit, cukup menggunakan KTP. Langsung bisa cair. masalah bayar belakangan. Utang utang dan belanja belanja...resiko urusan belakang. Negara disita deebt kolektor ora urus.

Utang pemerintah hingga bulan Juni 2017 yang nilainya mencapai Rp. 3.8720 triliun. Selama dua setengah tahun berkuasa Jokowi Pemerintah menambah utang sebesar Rp. 1.040 triliun (bukan data statistik Bank Indonesia). Sementara utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada Mei 2017 tercatat USD333,6 miliar atau Rp. 4.436 Triliun, tumbuh 5,5% (yoy).

Berdasarkan kelompok peminjam, pertumbuhan tahunan utang luar negeri sektor pemerintah meningkat, sedangkan utang luar negeri sektor swasta menurun. (data Bank Indonesia). Utang pemerintah kembali menyalip utang swasta. setelah pada era SBY utang swasta konsisten melebihi utang pemerintah. Tampaknya pada era Jokowi swasta tidak perlu utang luar negeri secara langsung. cukup menggunakan tangan pemerimtah. swasta pada era Jokowi tidak mau tanggung resiko.

Salah satu sumber utang tersebut adalah dari China. Menurut sumber resmi China, Sejak tahun 2015 China telah menyetujui memberikan 11.8 miliar dolar dan 6.8 miliar Yuan. Sehingga secara keseluruhan China menyetujui memberikan utang ke China tersebut sebesar Rp. 170 triliun (pada tingkat kurs 13.300). Dari jumlah tersebut telah terealisasi dan sekarang menjadi utang Indonesia adalah sebesar 8 miliar dolar dan 6.3 miliar yuan atau sekitar Rp. 100 triliun. ( sumber data berasal dari situs http://www.cdb.com).

Konon katanya utang tersebut akan disalurkan untuk investasi sektor telekomonikasi, mineral, kehutanan dan agriculture. Namun kenyataannya utang tersebut Justru mengalir ke kawan kawan para anggota Kabinet Jokowi sendiri.

Sebagai contoh utang yang diberikan China sebesar $3 miliar dolar kepada tiga bank di Indonesia, konon katanya untuk membangun infrastruktur. ketiga bank tersebut adalah Bank Negara Indonesia, Bank Rakyat Indonesia and Bank Mandiri.

Utang tersebut ternyata disalurkan oleh ketiga bank tersebut kepada Medco milik arifin Panigoro untuk mengambil alih saham Newmont senilai 2,6 miliar dolar. Ini adalah peristiwa yang aneh, mengapa bank BUMN tidak menyalurkan pinjaman ke ANTAM untuk mengambil alih saham Newmont.? Ada apa ?

Bebarapa pihak lain yang kecipratan pinjaman dari China yang

disalurkan melalui bank BUMN Indonesia mengalir ke oligarki penguasa. Bank BRI menyalurkan kepada PT Poso Energy Satu Pamona, PT Bosowa Energi, PT Semen Bosowa, PT Kertanegara Energi Perkasa, PT Indah Kiat. Sementara bank mandiri juga menyalurkan Pinjaman tersebut kepada perusahaan lain yakni yaitu PT Saka Energy Indonesia, PT Medco E&P Tomori Sulawesi, dan PT Medco Energy International Tbk. Perusahaan swasta lainnya yakni Sinarmas ikut menikmati pinjaman dalam jumlah besar dari sindikat bank
BUMN tersebut.

Padahal dalam kasus divestasi newmont Medco Energi Internasional bukan perusahaan yang cukup sehat. Dalam sektornya adalah yang cukup buruk kondisi keuangannya. Perusahaan ini memiliki total Debt to Equity mencapai 197.24 %, sangat besar dibandingkan dengan rata rata dalam sektor energi sebesar 46.34% (sumber data berasal dari situs reuters.com).

Pertanyaannya mengapa 3 bank BUMN memberikan pinjaman kepada medco, mengapa bukan kepada antam yang lebih berpengalaman menambang emas dan keuangnya
lebih sehat.? kabarnya Medco akan segera menjual Newmont kepada pihak lain. Perusahaan China kah ?

b. Project BUMN Migas bancakan Taipan

Ada tiga BUMN sektor strategis yang sekarang tengah merancang berbagai mega proyek infrastuktur yakni Perusahaan Gas Negara (PGN), Pertamina dan Perusahaan Listrik Negara (PLN). Ketiga BUMN ini dipaksa mencari sumber pembiayaan baik utang maupun investasi asing dalam rangka memenuhi ambisi oligarki penguasa. Proyek proyek infrastruktur megah tentu akan menghasilkan dana besar bagi oligarki pemerintahan ini.

PGN merupakan salah satu BUMN yang sebagian sahamnya telah dijual kepada swasta dan asing dalam rangka membiayai mega project. Ratusan triliun mega project dirancang dengan menggunakan sumber pembiayaanutang dan investasi asing.

Padahal total utang PGN sudah sangat besar yakni mencapai US$2,852 miliar atau Rp. 38,511 triliun. Nilai ini setara dengan Debt to equity 0.87% (PGN Equity US$ 3,279 miliar), dengan bunga utang 4.57 %. (Laporan PGN Maret 2017). Sementara pengusaan swasta atas PGN telah mencapai 43% dari asset perusahaan senilai US$ 6,986 miliar.

Penguasan swasta dan asing terhadap PGN mencapai 43%. Jika ditambah dengan total utang PGN, maka penguasaan swasta atas PGN telah mencapai 84% dari total asset PGN. Tentu PGN ini tidak lagi dapat disebut sebagai perushaaan Negara. Perusahaan ini telah menjadi milik taipan dan asing. Bias dibayangkan jika PGN terus dipaksa membiayai berbagai mega proyek investasi asing dan utang. Maka akan habislah perusahaan ini dijual.

Selanjutnya Pertamina. Perusahaan saat ini sedang digenjot untuk mebiayai mega project. Salah satunya adalah pembangunan kilang kilang Pertamina. Namun sayangnya pembangunan kilang kilang ini akan menggunakan dana asing dan utang dari pasar keuangan. Dengan demikian maka asset paling kunci dari Pertamina akan dilego untuk mendapatkan utang. Tidak tanggung tanggung, nilai mega proyek yang akan dibangun Pertamina mencapai Rp. 700 triliun.

Darimana uangnya? Pasti dari utang. Padahal utangpertamina sekarang sangat besar. Nilainya mencapai US$ 8 miliar atau sekitar 104 triliun. Perusahaan yang 100 persen kepemilikannya oleh Negara memang memiliki asset yang besar. Namun perusahaan bukanlah untuk mencari untung. Maka satu satunya cara untuk merealisasi proyek adalah dengan mengambil utang ke pasar keuangan. Maka secara perlahan lahan Pertamina akan menjadi ajang bancakan asing dan taipan.

BUMN energy yang paling parah sepak terjangnya adalah Perusahaan Listrik Negara (PLN). Sebuah perusahaan bancakan yang sangat empuk dewasa ini. Perusahaan dipaksa memenuhi ambisi pemerintah membangun mega proyek 35 ribu megawatt. Sebuah mega proyek yang menjadi bancakan asing dan taipan. Darimana sumber dananya? Tidak lain dari utang baik melalui tangan PLN langsung maupun menggunakan tangan Negara.

Padahal utang Perusahaan sudah menggunung. Adapun sumber utang tersebut adalah sebagai berikut 1. WorldBank sebesar US$3,75 miliar, Asian Development Bank(ADB) sebesar US$4,05 miliar, Japan International Cooperation Agency (JICA) sebesar US$5 miliar, KfW Bankengruppe sebesar 1,65 miliar Euro, AFD Perancis sebesar 300 juta Euro, China Exim Bank sebesar US$5 miliar, China Development Bank sebesar US$10 miliar, dan Islamic Development Bank (IDB) sebesar US$300 juta.

Selanjutnya baru baru ini PLN mengambil utang dari pasar keuangan internasional US$ 7 miliar atau sekitar Rp. 94.5 triliun. Dengan demikian maka total utang PLN telah mencapai Rp. 500,175 triliun. Ini merupakan perusahaan dengan rekor tertinggi dalam mengambil utang. Total utangPLN sebelum revaluasi asset telah lebih dari 100 % dari total asset.

Sementara laba bersih PLN berdasarkan laporan keuangan mereka hanya tahun 2016 sebesar Rp 10,5 triliun. Pencapaian tersebut turun dibandingkan laba bersih 2015 yang sebesar Rp 15,6 triliun. Pertanyaannya sampai kapan perusahaan ini dapat membayar utangnya?. Meskipun keluruh keuntungan untuk bayar utang maka dalam tempo 50 tahun belum lunas.
Itulah mengapa harga listrik digenjot naik. Menteri ESDM bagaikan algojo menetapkan kenaikan harga listrik tanpa memikirkan daya beli masyarakat. Bahkan mengesampingkan bahwa kenaikan harga listrik adalah perbuatan yang tidak pantas ditengah penurunan harga batubara, gas dan minyak yang merupakan unsur biaya terbesar dalam PLN.

<!--nextpage-->

2.4. Utang Luar Negeri Pemerintah dan Swasta Membengkak

Adapun yang dimaksud dengan utang luar negeri adalah utang luar negeri pemerintah dan utang luar negeri swasta. Menurut data Bank Indonesia utang luar negeri Indonesia hingga kwartal III 2016 sekarang adalah US$ 325,261 miliar. Terdiri dari utang pemerintah senilai US$162,182 miliar dan utang swasta senilai US$ 163,079 miliar.

Total utang luar negeri Indonesia jika dirupiahkan adalah senilai Rp. 4.391 triliun. Nilai tersebut telah setara dengan 93 % seluruh uang yang beredar di Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa jumlah uang yang beredar di Indonesia sampai dengan kwartal III 2016 adalah senilai Rp. 4.737 triliun.
Utang luar negeri swasta sedikit lebih tinggi dari utang luar negeri pemerintah. Namun selama era pemerintahan Jokowi (Kwartal IV 2014 – Kwartal III 2016) utang luar negeri swasta berkurang. Seluruh tambahan utang luar negeri Indonesia bersumber dari tambahan utang luar negeri pemerintah Jokowi.

Sepanjang pemerintahan Jokowi utang luar negeri swasta berkurang dari US$ 163,592 miliar menjadi US$ 163,079 miliar, atau berkurang sebesar US$ -512,96 juta. Sedangkan utang luar negeri pemerintah bertambah dari US$ 129,735 miliar menjadi US$ 162,182 miliar atau bertambah sebesar US$ 32,446 miliar. Jika konversikan ke dalam rupiah (kurs Rp. 13500/USD) utang luar negeri pemerintah sekarang mencapai Rp. 2.189 triliun. Selama pemerintahan Jokowi utang luar negeri pemerintah bertambah sebesar Rp. 438,027 triliun. Total utang luar negeri pemerintah tersebut telah setara dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setahun dan setara dengan dua tahun penerimaan negara dari pajak.

Sehingga untuk bisa melunasi utang luar negeri tersebut maka 93% uang seluruh rakyat Indonesia harus diserahkan kepada luar negeri atau asing. Sedangkan untuk melunasi utang luar negeri pemerintah, maka seluruh pendapatan pajak pemerintah selama dua tahun harus diserahkan kepada luar negeri atau asing.

Artinya untuk bisa melunasi utang luar negeri seluruhnya maka rakyat Indonesia harus menyerahkan seluruh uangnya kepada asing atau luar negeri. Selanjutnya untuk melunasi utang luar negeri pemerintah, maka selama dua tahun pemerintah Jokowi harus puasa belanja.

2.5. Pemerintah Gagal Bayar Utang

APBN JEBOL, adalah masalah paling krusial yang dihadapi pemerintahan Jokowi. Selama ini para pembantu presiden memberi angin surga. Kebohongan yang akhirnya terbukti. Konon katanya tax amnesty akan meningkatkan penerimaan pajak pemerintah dan mengurangi defisit APBN 2017. Namun faktanya APBN 2017 jebol lebih dalam dibandingkan tahun sebelum tax amnesty.

Tahun 2017 defisit APBN mencapai 2,92 persen dari Produk Domestik Bruto. Tinggal secuil lagi melewati batas defisit yang ditetapkan oleh UU keuangan negara yakni 3 persen dari PDB. Nilainya mendekati Rp. 400 triliun.

Mengapa defisit sedemikian besar? Karena penerimaan pajak tidak mencapai target, penerimaan negara bukan pajak jatuh. Mengapa pajak bisa merosot? Karena kebohongan tax amnesty, karena merosotnya daya beli masyarakat yang selama ini sebagai penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi.

Mengapa daya beli masyarakat jatuh? Karena harga harga atau inflasi meningkat. Mengapa inflasi meningkat? Karena naiknya harga energi terutama kenaikan harga listrik yang bertubi tubi sejak Januari 2017 mendorong inflasi hingga 5 persen.

Seluruh defisit APBN akan ditutupi dengan utang. Sementara utang pemerintah semakin menbesar yang sudah berada pada posisi megancam keberlangsungan dan keselamatan negara. Pemerintah dan aset aset pemerintah berada dalam ancaman disita investor karena tidak bisa membayar kewajiban bunga dan utang jatuh tempo.

Sementara rencana pemerintah untuk memalak tabungan dan deposito masyarakat dengan alasan automatic exchange information (aei) pasti akan menuai perlawanan rakyat. Rakyat akan mengosongkan bank bank dengan menindahkan uang mereka ke bawah bantal.

Seluruh upaya pemerintah adalah dalam rangka membayar utang baik bond maupun utang luar negeri yang pasti tidak mungkin terbayarkan. Utang pemerintah yang jatu tempo pada 2018 mencapai Rp, 400 Triliun dan tahun 2019 berakumulasi sekitar Rp. 800 triliun. Jumlah tersebut belum termasuk bunga utang yang harus dibayarkan. Penundaan pembayaran utang akan menjadi sumber akumulasi yang akan berakibat cepat atau lambat negara akan disita para investor pemberi utang.


Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments
close