Sering kita mendengar pernyataan miring yang ditujukan kepada para penentang demokrasi, “Anda itu tidak konsisten! Anda mengharamkan demokrasi tetapi Anda menikmati produk–produk demokrasi!”. Lalu dijabarkanlah apa yang dimaksud dengan “menikmati produk–produk demokrasi” yaitu menikmati fasilitas umum seperti Rumah Sakit Pemerintah, Puskesmas, jalan beraspal, pasar, dan sejenisnya. Dikatakan demikian karena katanya fasilitas–fasilitas umum tersebut dibangun dan didanai oleh pemerintah yang menjalankan sistem demokrasi. Masih katanya, tidak mungkin bisa berdiri fasilitas umum tersebut jika tidak disetujui anggarannya oleh para anggota dewan yang dipilih berdasarkan dan mengamalkan sistem demokrasi. Sehingga sampailah pada kesimpulan “Jika Anda mengharamkan demokrasi, maka seharusnya Anda juga mengharamkan diri menikmati fasilitas–fasilitas umum tersebut! Anda tidak boleh berobat ke Puskesmas dan Rumah Sakit Pemerintah, tidak boleh berbelanja di pasar, dan tidak boleh berjalan di jalan beraspal!”
Benarkah berbagai fasilitas umum tersebut adalah produk demokrasi dan tidak mungkin terwujud tanpa demokrasi? Faktanya tidak demikian. Buktinya di negara yang tidak demokratis pun ditemukan fasilitas umum semacam itu. Bukankah saat ini jalan beraspal, pasar atau fasilitas kesehatan semacam Puskesmas dan Rumah Sakit Pemerintah ada di negara mana pun di dunia ini? Bahkan penjajah pun bisa saja membangun jalan beraspal di daerah jajahannya. Lihatlah jalan pantura (pantai utara Jawa) yang juga dikenal sebagai jalan Deandeles karena merupakan karya Deandeles. Jadi, dengan atau tanpa demokrasi fasilitas umum bisa saja terwujud alias keberadaan fasilitas umum bukanlah jasa demokrasi.
“Lho, bukankah berbagai fasilitas umum yang ada saat ini bisa dibangun atas persetujuan pemerintah yang menerapkan demokrasi yang Anda haramkan itu? Tanpanya, fasilitas umum tersebut tak akan ada! Kalau Anda mengharamkan demokrasi, haramkan juga dong segala sesuatu yang dihasilkan oleh pihak yang menerapkan demokrasi!” Benar, bahwa fasilitas umum hanya dapat dibangun atas persetujuan pemerintah, apa pun sistem yang digunakan untuk memerintah. Dalam negara sosialis komunis, fasilitas umum hanya mungkin dibangun jika disetujui penguasa yang menerapkan sistem sosialis komunis. Demikian juga di negara demokratis. Tetapi, apakah jika misalnya sosialisme komunisme haram, maka kita haram pula berjalan di atas jalan yang dibangun oleh penguasa yang menerapkan sosialime komunisme? Atau haram berjual–beli di pasar yang dibangun dan dipelihara oleh kapitalis? Jawabannya tentu saja tidak.
Mari kita berkaca pada apa yang dilakukan oleh Rasulullah. Saat beliau masih berada di Mekkah, beliau hidup di sebuah negeri yang dipimpin oleh para musyrikin. Secara tegas beliau menyatakan kebencian terhadap sistem pemerintahan yang tegak di Mekkah, beliau memusuhi kesyirikan yang berlangsung di Mekkah, bahkan tak jarang beiau meluncurkan hinaan dan kata–kata pedas tentang kesyirikan dan sistem pemerintahan yang dijalankan di sana. Tetapi apakah Rasulullah pernah mengharamkan pemanfaatan fasilitas umum yang ada di sana—meskipun tentu saja fasilitas umum tersebut dibangun oleh penguasa yang menerapkan kesyirikan—? Tidak pernah. Rasulullah tetap berjalan di atas jalan–jalan yang dibangun oleh penguasa Mekkah. Bahkan beliau pun tetap berjual beli di pasar. Lalu, apakah kita akan mengatakan bahwa Rasulullah telah bersikap tidak konsisten? Silakan saja jika Anda berani menyatakan demikian, saya sih tida berani. Bahkan saya akan mengikuti Rasulullah. Mengharamkan sistem selain Islam tanpa perlu mengharamkan diri memanfaatkan fasilitas umum yang ada.
Lalu, sebenarnya perbuatan seperti apa yang bisa disebut “menikmati produk demokrasi”? Saya kutipkan pernyataan guru saya, Prof. Fahmi Amhar “‘Menikmati demokrasi’ yang sesungguhnya itu adalah ketika orang menikmati berbagai kemaksiatan yang dilindungi UU produk demokrasi, misalnya menikmati riba ala perbankan, menikmati judi ala Pasar Modal, menikmati miras berijin, menikmati aurat di layar TV, menikmati penjarahan sistemik SDA … dsb.” Itulah yang disebut sebagai menikmati produk demokrasi
Oleh : Hafizhaah Kurniasih
Oleh : Hafizhaah Kurniasih