Oleh: Al Azizy Revolusi
Mediaoposisi.com- Dilansir dari tribun-timur.com, 18 Rumah Sakit dari dua propinsi yakni Jawa Barat dan Jawa Timur memutuskan kerjasama dengan layanan Jaminan Kesehatan Nasional atau yang lebih dikenal sebagai BPJS Kesehatan. Salah satunya yang dilakukan RS Karya Medika II Bekasi. (CNBC, 4/1/2019)
Sisi Gelap BPJS Kesehatan
Sejak awal kemunculannya di tahun 2015 lalu, BPJS Kesehatan telah menimbulkan kontroversi. Apalagi setelah MUI mengeluarkan fatwa keharaman BPJS pada pertengahan tahun 2015, polemik BPJS terus bergulir hingga kini.
Setidaknya ada 4 alasan yang menjadi pemicu pro-kontra keberadaan BPJS ini:
1. Karena BPJS Kesehatan mirip asuransi kesehatan. Para anggota BPJS diwajibkan membayar premi (iuran) tiap bulan. Tidak jelas apakah mereka nanti memanfaatkan layan kesehatan kesehatan yang difasilitasi BPJS atau tidak. Padahal sejak awal digagas, keberadaan BPJS selalu diidentikkan dengan jaminan kesehatan yang terkesan cuma-cuma alias gratis, dijamin pemerintah.
2. Layanan kesehatan yang diterima masyarakat anggota BPJS sering minimalis dan tidak optimal. Bahkan dalam beberapa kasus, klaim pasien acap kali ditolak. Selain itu, banyak tindakan medis, termasuk obat-obatan, yang tidak di-cover oleh BPJS.
3. Keberadaan BPJS adalah bentuk lepas tanggung jawab pemerintah dalan menjamin kesehatan warganya. Pemerintah seolah ingin 'cuci tangan' dari kewajibannya melayani rakyat dalan bidang kesehatan.
4. Karena BPJS mengandung unsur gharar (penipuan), maysir (judi) dan riba yang memang diharamkan dalam Islam. (al wa'ie No.181, 2015)
BPJS Syariah?
Ada yang berpendapat, BPJS dapat disyariahkan dengan menghilangkan unsur gharar, maysir dan riba yang ada di dalamnya. Benarkah? Tentu saja tidak. Ada tiga alasan:
Pertama, unsur-unsur haram tersebut hanyalah penyimpangan cabang dari BPJS. Penyimpangan pokoknya adalah pada substansi akadnya, yakni akad asuransi. Dalam Islam, objek akad harus jelas, apakah berupa barang (jual-beli) atau kontrak kerjan dan sewa seperti dalam akad jasa.
Sementara itu, objek akad asuransi adalah janji, yakni janji perusahaan membayar dana pertanggungan jika terjadi sesuatu seperti kecelakaan, kebakaran hingga kematian. Janji seperti ini tak sah dijadikan objek akad karena bukan barang ataupun jasa.
Kedua, asuransi juga haram karena tak sesuai dengan akad pertanggungan dalam Islam. Menurut Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, akad pertanggungan Islam melibatkan 3 pihak. Penanggung (dhamin), tertanggung (madhmun 'anhu) dan penerima tanggungan (madhmun lahu). Di sini terjadi penggabungan tanggungan (dhamm adz-dzimmah) pihak tertanggung menjadi tanggungan pihak penanggung, sementara pihak penerima tanggungan tak membayar apa-apa untuk mendapatkan pertanggungan. (An Nizham Al Iqtishadi fi al-Islam hlm.185)
Ketentuan di atas jelas bertentangan dengan akadi asuransi, karena:
1. Dalam asuransi hanya ada dua pihak (bukan tiga), yaitu penanggung yakni perusahaan dan peserta asuransi sebagai penerima tanggungan. Tak ada pihak tertanggung.
2. Dalam asuransi tak terjadi penggabungan tanggungan peserta asuransi dengan tanggungan perusahaan asuransi karena sebenarnya peserta tidak punya tanggungan apa-apa kepada pihak lain.
3. Dalam asuransi peserta asuransi harus membayar iuran (premi) perbulan kepada penanggung (perusahaan).
Ketiga, asuransi BPJS tak mungkin disyariahkan selama ada pungutan dana dari masyarakat. Sebab, Jaminan Kesehatan dalam Islam diperoleh rakyat dari Pemerintah secara gratis. Tak perlu membayar.
Berdasarkan ketiga alasan di atas, BPJS tak bisa disyariahkan dengan menghilangkan unsur riba, maysir dan gharar-nya. Artinya, selama akadnya berupa janji, selama akadnya menyalahi akad pertanggungan dalam Islam dan selama masih ada pemungutan dana masyarakat, maka BPJS tetap haram. (Pro-Kontra BPJS, Shiddiq Al Jawi)
Jaminan Kesehatan dalam Islam
Dalam Islam, negara memiliki peran sentral dan sekaligus bertanggung jawab penuh atas segala urusan rakyatnya, termasuk bidang kesehatan. Rasul bersabda:
"Pemimpin yang mengatur urusan manusia (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya." (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Di antara tanggung jawab Khalifah adalah memenuhi kebutuhan primer (dasar) bagi seluruh rakyat. Yang termasuk kebutuhan dasar adalah sandang, papan dan pangan. Pendidikan, kesehatan dan keamanan termasuk dalam kebutuhan dasar.
Dalam Islam, jaminan kesehatan untuk seluruh rakyat adalah tanggungjawab negara yang wajib diberikan secara gratis alias tidak membayar sama sekali. Negara tidak boleh membebani rakyatnya untuk membayar kebutuhan layanan kesehatannya.
Pengadaan layanan, sarana dan prasarana kesehatan tersebut wajib senantiasa diupayakan oleh negara bagi seluruh rakyatnya. Layanan gratis tersebut diberikan tanpa memandang lagi strata ekonomi rakyatnya. Kaya dan miskin sama-sama berhak mendapat layanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medisnya.
Hanya saja, jika kita mengharapkan adanya jaminan kesehatan yang sesuai dengan syariah maka kita tidak dapat berharap lagi pada negara yang tidak menerapkan syariah. Kita hanya bisa berharap pada negara yang menerapkan syariah Islam secara kaffah, yakni Khilafah Islamiyah.[MO/sr]

