Oleh: M. Nur Rakhmad, SH - Praktisi Hukum
Indonesia memiliki UU yang mengatur tentang Ujaran Kebencian (Hate Speech), baik terhadap seseorang, kelompok ataupun lembaga berdasarkan Surat Edaran Kapolri No: SE/06/X/2015 terdapat di dalam Pasal 156, Pasal 157, Pasal 310, Pasal 311, kemudian Pasal 28 jo.Pasal 45 ayat (2) UU No 11 tahun 2008 tentang informasi & transaksi elektronik dan Pasal 16 UU No 40 Tahun 2008 tentang penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Dalam surat Edaran Kapolri NOMOR SE/06/X/2015 tentang Ujaran Kebencian (Hate Speech) dijelaskan pengertian tentang Ujaran Kebencian (Hate Speech) dapat berupa tindak pidana yang di atur dalam KUHP dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP, yang berbentuk antara lain:
- Penghinaan
- Pencemaran nama baik
- Penistaan
- Perbuatan tidak menyenangkan
- Memprovokasi
- Menghasut
- Menyebarkan berita bohong
Semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa dan atau konflik sosial. Selanjutnya dalam Surat Edaran (SE) pada huruf (h) disebutkan, Ujaran Kebencian (Hate Speech) sebagaimana dimaksud diatas dapat dilakukan melalui berbagai media,antara lain:
- Dalam Orasi kegiatan kampanye
- Spanduk atau banner
- Jejaring media social
- Penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi)
- Ceramah keagamaan
- Media masa cetak atau elektronik
- Pamflet
Dalam buku berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang ditulis R. Soesilo serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal dalam penjelasan Pasal 310 KUHP, menerangkan bahwa: Menghina adalah Menyerang kehormatan dan nama baik seseorang. Yang diserang ini biasanya merasa malu.[5] Objek penghinaan adalah berupa rasa harga diri atau martabat mengenai kehormatan dan mengenai nama baik orang baik bersifat individual ataupun komunal (kelompok). (R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar lengkap Pasal demi Pasal, Bogor, Politea; 1991,hlm 225)
Hate Speech?
Arti dari pada Ujaran Kebencian (Hate Speech) sendiri adalah Tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama dan lain-lain.
Dalam arti hukum Ujaran Kebencian (Hate Speech) adalah perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka entah dari pihak pelaku pernyataan tersebut ataupun korban dari tindakan tersebut. Website yang menggunakan atau menerapkan Ujaran Kebencian (Hate Speech) ini disebut (Hate Site). Kebanyakan dari situs ini menggunakan Forum Internet dan Berita untuk mempertegas suatu sudut pandang tertentu. (Sutan Remy Syahdeini,Kejahatan dan Tindak Pidana Komputer, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 2009, hlm 38).
Perspektif Islam
Sebagai wujud keimanan dan cinta terhadap negeri, adanya UU yang mengatur tentang Ujaran Kebencian (Hate Speech), hendaknya tidak menyurutkan kaum muslimin untuk mengoreksi kebijakan penguasa. Dalam pandangan Islam, menolak tindak kedzaliman dan kemaksiatan penguasa adalah fardlu. Sedangkan berdiam diri dan ridla terhadap kedzaliman dan kemaksiatan penguasa adalah dosa. Mengoreksi penguasa dholim serta mengubah kemungkarannya bisa dilakukan dengan lisan, tangan, dan hati.
Setiap Muslim dan muslimah diperbolehkan mengoreksi penguasa dengan tangannya; akan tetapi ia tidak diperbolehkan mengangkat pedang, atau memeranginya dengan senjata. Seorang Muslim juga diperbolehkan mengingkari kedholiman penguasa dengan lisannya secara mutlak. Ia boleh mengeluarkan kritik baik tertulis maupun disampaikan secara terang-terangan. Ia juga boleh menolak kemungkaran penguasa dengan hatinya, yakni dengan cara tidak bergabung dalam kemaksiatan yang dilakukan oleh penguasa, tidak menghadiri undangan penguasa yang di dalamnya terdapat aktivitas dosa, bid’ah, dan lain sebagainya. Al-Quran telah menyatakan kewajiban ini di banyak ayat, diantaranya:
“Kalian adalah sebaik-baik umat yang dihadirkan untuk seluruh umat manusia, maka kalian harus menyeru kepada kemakrufan dan mencegah kepada kemungkaran.”[Ali Imron:110]
“Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadah, yang memuji Allah, yang melawat (untuk mencari ilmu dan sebagainya), yang ruku’ dan sujud yang menyeru berbuat makruf dan mencegah perbuatan mungkar; dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembiralah orang-orang yang mukmin itu.”[al-Taubah:112]
Ada banyak hadits yang memerintahkan kaum Muslim untuk melakukan amar makruf nahi ‘anil mungkar. Dari Hudzaifah al-Yamani dikisahkan, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
“Demi Dzat yang jiwaku dalam genggamanNya, hendaknya kalian benar-benar memerintahkan pada kemakrufan, serta mencegah dari perbuatan mungkar, atau sampai Allah betul-betul akan memberikan siksaan untuk kalian dari sisiNya, yakni meskipun kalian berdoa kepadaNya dengan sungguh-sungguh, niscaya Dia tidak akan mengabulkan (doa) kalian.”[HR. Ahmad dan Tirmidziy]
Tidak hanya itu saja, Rasulullah saw juga menyatakan dengan spesifik kewajiban serta keutamaan melakukan muhasabah (koreksi) kepada penguasa. Al-Thariq menuturkan sebuah riwayat:
“Ada seorang laki-laki mendatangi Rasulullah saw, seraya bertanya, “Jihad apa yang paling utama.” Rasulullah saw menjawab,’ Kalimat haq (kebenaran) yang disampaikan kepada penguasa yang lalim. “[HR. Imam Ahmad]
Islam juga mengajarkan mengoreksi itu bukan pada pribadinya tetapi pemikiran yang menjadi sudut pandangnya. Jadi semestinya jangan pernah ada celaan kepada seseorang akan tetapi yang di koreksi adalah cara pandangnya, sikapnya dan kebijakan yang dikeluarkan dan yang tak kalah penting adalah data yang valid serta dalil Syariah serta memperhatikan hukum-hukum positif yang berlaku di negeri ini atas apa yang kita lontarkan sebagai kritik.
Walhasil
Dalil-dalil di atas merupakan dalil sharih yang menunjukkan keutamaan dan wajibnya melakukan koreksi kepada penguasa. Di dalam riwayat lain, Rasulullah saw telah mendorong kaum Muslim untuk menentang dan mengoreksi penguasa dzalim dan fasiq, walaupun untuk itu ia akan menanggung resiko hingga taraf kematian. Nabi saw bersabda:
“Pemimpin syuhada’ adalah Hamzah, serta laki-laki yang berdiri di hadapan penguasa lalim, lalu ia menasehati penguasa tersebut, lantas, penguasa itu membunuhnya.”(HR Hakim dari Jabir). [IJM]

