Oleh: Lalang Darma Bakti - pengamat media
Setelah dilantik, Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Mayjen Purn Djoko Setiadi, melontarkan sejumlah pernyataan yang kontroversial. Salah satunya adalah perihal perlunya BSSN memiliki kewenangan penangkapan dan penindakan yang dikemukakan di Istana Negara, Jakarta, Rabu (3/1/2018).
"Nanti mestinya badan siber punya wewenang. Jadi badan siber punya wewenang mestinya, jadi bisa menindak langsung, bisa menangkap, menindak, dan diserahkan ke pemerintah," ujar Djoko usai dilantik di Istana Negara, Jakarta, Rabu.
Catatan
Kejahatan tentu sebagai fitur yang tidak diinginkan dalam masyarakat manapun, dan sistem yang mengatur masyarakat memiliki kebijakan untuk meminimalkan kejahatan dan menjamin hak warganya. Di dunia modern, tindakan kriminal memiliki banyak penampilan apakah itu kekerasan, penganiayaan, penipuan, pencurian dan semua hal di atas di lingkungan cyber. Juga di dunia modern, rasa tidak aman yang dirasakan oleh banyak orang, nampaknya meningkat karena itu tindak pidana datang dalam berbagai bentuk sebagai pencegah dan memberi efek jera.
Fungsi BSSN dikatakan ada empat yakni sebagai proteksi, deteksi, identifikasi, dan pemulih. Jadi fungsinya lebih banyak defensif melindungi keamanan siber keamanan cryptografi yang digabungkan dalam satu badan. Namun mencermati pernyataan Kepala BSSN dinilai jauh dari esensi dan kebutuhan kelembagaan, serta urgensi pembentukan sebuah Badan Siber, yang notabene dimaksudkan sebagai wadah koordinasi sekaligus perumusan kebijakan teknis dan operasional keamanan dunia maya nasional.
Sebelumnya penanganan kejahatan siber menjadi tanggung jawab dari kepolisian, ranah penangkapan tersebut tetap milik institusi polri. Polri pun memiliki cyber crime yang fungsinya memang untuk melakukan penindakan-penindakan terhadap kejahatan-kejahatan dalam dunia siber. dengan kewenangan penegakan hukum, termasuk di dalamnya cyber terrorism. Khusunya untuk perang siber (cyber conflict),yang sepenuhnya menjadi kewenangan dari institusi militer (TNI), yang tunduk pada rezim hukum konflik bersenjata dan hukum humaniter. Sedangkan cyber espionage (spionase siber) penangannya melekat pada fungsi deteksi dini yang ada pada lembaga intelijen (BIN).
Namun yang jauh lebih dibutuhkan masyarakat bahwa lembaga-lembaga yang dibentuk, termasuk BSSN ini tidak melahirkan kebijakan represif terhadap Islam dan geliat kebangkitan masyarakat muslim. Kita mengingatkan kepada pemerintah bahwa umat Islam khususnya saat ini bangkit dan ingin implementasi sistem politik Islam, yang akan menerapkan Islam dalam semua aspek kehidupan. Dengan menggunakan ungkapan-ungkapan seperti melindungi masyarakat dari hoaks dan mencegah konflik SARA, hendaknya pemerintah jangan menghambat semua ekspresi Islam masyarakat.
Ketika masyarakat melihat demokrasi sebagai sistem yang tidak efektif menghentikan laju kejahatan, Islam menawarkan solusi komprehensif untuk mencapai masyarakat dengan kejahatan yang sangat minim. Tingginya volume kejahatan di masyarakat saat ini menunjukkan bahwa bagi banyak orang, sistem ini tidak menjawab dan tidak memenuhi kebutuhan masyarakat. Pada saat bersamaan, sistem syariah mengambil langkah-langkah tepat untuk mengurangi risiko bagi potensi pelaku kriminal maupun pelaku kriminal itu sendiri.
Islam memerintahkan masyarakat menaati aturan hukum, keadaan alamiah taat dan sadar hukum menjadi lebih mudah ketika negara dan organ-organnya berada pada satu dengan visi dasar sistem Islam. Sehingga tidak akan ada budaya kekerasan atau penghargaan yang diberikan kepada penjahat atau geng. Juga tidak akan ada budaya yang memuliakan kejahatan melalui film dan musik karena ini bukanlah nilai-nilai yang mendasari masyarakat Islam. Sebaliknya, sistem Islam akan melakukan yang sebaliknya, akan mempromosikan dan mewujudkan cita-cita yang mulia. [IJM]
