Oleh: Abdul Madjid - Pemerhati Masalah Sosial dan Politik
Sejak diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia, demokrasi menjadi sistem utama bagi berjalannya berbagai aktifitas negeri ini. Demokrasi dianggap sebagai sistem paling sempurna dan relevan bagi kultur masyarakat Indonesia. Benarkah demikian?
Faktanya, demokrasi melahirkan penguasa-penguasa yang tunduk di bawah pemilik modal. Mahalnya biaya kampanye merupakan salah satu penyebab melangitnya ongkos demokrasi. Bagi para calon penguasa tentu mencari modal besar menjadi suatu keniscayaan. Di sinilah para pemilik modal terlibat dalam proses menuju kekuasaan hingga selama para penguasa tersebut terpilih.
Bisa dipastikan penguasa pun abai terhadap kepentingan rakyat. Rakyat hanya dijadikan kendaraan untuk mencapai tampuk kekuasaan. Penguasa lebih lebih suka melayani dan memenuhi keinginan pemodal. Karena pemodal meggelontorkan dana sangat besar saat kampanye. Sebagai salah satu imbalannya penguasa terpilih mengeluarkan regulasi yang menguntungkan pemodal. Berbagai undang-undang diterbitkan demi memenuhi ambisi pemodal sebagai balas jasa. Diantaranya UU Nomor 24 Tahun 1999 tentang Sistem Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dan UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.
Inilah konsekuensi buruk yang dirasakan masyarakat apabila demokrasi masih dipertahankan di negeri ini. Sudah saatnya untuk beralih ke sistem yang lebih baik, lebih adil yang memihak kepada semua rakyat. Sistem tersebut adalah sistem yang harus berasal dari Sang Pencipta manusia itu sendiri, yaitu Allah swt. Dia saja lah yang Maha Tahu terhadap apa yang dibutuhkan manusia. [IJM]
