Sontak terbitnya perppu ini memantik kontroversi di masyarakat. Berbagai kalangan menyayangkan partai-partai di parlemen mayoritas mendukung pengesahan perppu menjadi undang-undang melalui rapat paripurna DRP, selasa [24/10].
Berbagai aksi penolakan perppu oleh berbagai kalangan masyarakat seolah tidak dihitung sama sekali oleh anggota dewan yang konon katanya mewakili suara rakyat. Dari sepuluh partai, hanya tiga partai yang secara konsisten menolak perppu ormas.
Padahal jumlah masyarakat yang menolak perppu jauh melebihi jumlah seluruh anggota dewan yang ada. Partai-partai pendukung perppu seolah sedang melakukan akrobat politik yang tentu memiliki dampak di kemudian hari. Mestinya mereka cermat dan cerdas melihat dinamika masyarakat yang mereka wakili.
Karena itu berbagai ormas Islam dan partai-partai berbasis masa Islam terus mendorong uji materi terhadap Perppu no 2 tahun 2017 tentang organisasi kemasyarakatan yang baru disahkan menjadi undang-undang. Rencana tersebut mengemuka kurang dari 24 jam setelah pengesahan oleh DPR. [Republika, 26/10].
Sebelumnya ormas Islam HTI telah lebih awal menggugat beberapa pasal dalam Perppu ormas ini antara lain pasal 59 ayat 4 huruf [c], pasal 61 ayat 3, pasal 63 ayat 1, pasal 80, dan pasal 82 A ayat 1, 2 dan 3.
Pengesahan Perppu menjadi UU dinilai oleh HTI sebagai bentuk transaksi politik yang menjauhkan rasionalitas, akal sehat dan nurasi. Lebih dari itu pengesahan perppu menjadi UU adalah bentuk pengabaian keimanan dan keyakinan demi pragmatisme kekuasaan.
HTI adalah ormas sebagaimana ormas Islam lainnya adalah bagian dari kebhinekaan masyarakat Indonesia. Filosofi lahirnya ormas Islam di Indonesia adalah untuk membantu bangsa ini agar terus bisa melakukan pendidikan nilai-nilai Islam sekaligus memberikan arahan kepada pemerintah agar selalu berjalan dengan arah yang benar.
Ormas Islam bagi bangsa ini ibarat lentera yang memberikan penerangan dalam gelap dinamika sosial politik bangsa. Demikian pula HTI, tidak lebih dari memberikan pembinaan umat dan nasehat kepada pemerintah dengan pendekatan intelektual dan penuh perdamaian.
Selain melakukan kajian Islam secara komprehensif dari mulai fiqih, muamalah, syariah, HTI dalam berbagai aksi juga memberikan nasehat kepada pemerintah agar tidak tunduk kepada berbagai penjajahan politik, ekonomi dan budaya negara-negara asing. Tidak aneh jika HTI mengkritik lepasnya timor timur, kontak freeport yang merugikan rakyat, menolak budaya LGBT, menolak penjualan aset negara dan permasalaha lain yang merugikan rakyat dan memperlemah kedaulatan negeri ini.
Kecintaan HTI terhadap Indonesia dilakukan dengan berbagai kajian intelektual, audiensi kepada DPR dan dan dialog dengan berbagai kalangan, seperti ulama dan cendekiawan. Dengan pendekatan intelektual pula, HTI menawarkan solusi komprehensif Islam sebagai antitesis terhadap penerapan ideologi kapitalisme dan komunisme yang destruktif.
HTI hanyalah menawarkan gagasan dan solusi Islam atas berbagai krisis multidemensi bangsa ini, bukankah mayoritas bangsa ini muslim. Islam adalah agama sempurna yang rahmatan lil’alamin.
Prinsip HTI dalam menawarkan gagasan adalah tidak menggunakan kekerasan, tidak melakukan kudeta, tidak memaksa dan tentu saja didasarkan oleh kajian-kajian yang mendalam dan ilmiah atas berbagai problem berbangsa dan bernegara negeri ini. Mestinya negara ini bersyukur memiliki HTI yang sepenuhnya mencintai negeri ini. Mestinya sebuah gagasan menjadi bahan kajian secara intelektual dan terus didialogkan, bukan justru dipotong dengan cara-cara yang tidak adil.
Mengadili sebuah gagasan yang belum terbukti merusak negara bukanlah karakter negara berbasis hukum dan menghargai keragaman. Konsistensi negara atas penghargaan kebhinekaan bertolak belakang dengan terbitnya perppu no 2/2017 yang bahkan telah disahkan menjadi UU ini.
Sementara sistem kapitalisme sekuler yang jelas telah terbukti banyak menjadikan rakyat semakin miskin dan negara semakin tidak berdaulat justru tidak pernah dipermasahkan.
Apa jadinya jika pemerintah menjadi penafsir tunggal atas gagasan yang berkembang di masyarakat, bukankah ini bentuk dari pengingkaran terhadap demokrasi yang selama ini diagung-agungkan oleh pemerintah sendiri.
Dengan prinsip-prinsip demokrasi, pancasila dan kebhinekaan seharusnya telah menjadi alasan yang cukup bagi pemerintah untuk secara terbuka dan ilmiah mendialogkan setiap pemikiran yang lahir dari kepedulian masyarakat terhadap nasib bangsa ini. Sebab pemerintah bukanlah sesuatu yang mutlak kebenarannya, kekuasaan juga bukan mutlak. Selama masih dalam ruang pemikiran manusia, maka kemungkinan kesalahan akan selalu ada.
Berbagai argumen ilmiah yang ditawarkan HTI untuk menyelamatkan bangsa ini dari berbagai penjajahan dan kesenjangan mestinya menjadi masukan konstruktif bagi upaya penyelenggaraan negara ini. Sebab HTI bukanlah ormas yang bersembunyi, namun secara terbukan bisa diakses, baik program maupun gagasan-gagasannya.
Berbagai literatur yang dijadikan rujukan gagasan HTI pun bisa dibaca oleh siapapun. Karena itu berbagai tuduhan negatif atas HTI tidak pernah bisa dibuktikan. Mengadili gagasan secara emosional adalah bukti kekelahan intelektual dalam menghadapi keragaman pemikiran dan sikap pemerintah bukanlah cara yang baik untuk menderdaskan bangsa ini.
Oleh *Dr. Ahmad Sastra*
(Ketua Divisi Riset dan Literasi Forum Doktor Islam Indonesia)
(Ketua Divisi Riset dan Literasi Forum Doktor Islam Indonesia)
Sumber : FB
