-->

Hantu Ketahanan Pangan Domestik

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat
Advertisemen

Oleh: Fahmiyah Tsaqofah Islamiy
Mediaoposisi.com-Masalah perberasan memang seolah terus berjilid-jilid, bahkan tak jarang memunculkan 'perang' antar menteri. Pasca akhir tahun lalu sempat terjadi perseteruan antara Direktur Utama Badan Urusan Logistik (Bulog) Budi Waseso dengan Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita soal impor beras yang dianggap dapat menambal produksi beras dalam negeri yang diasumsikan tidak mencukupi, kemudian perihal Bulog yang merasa kebingungan tak bisa menyerap produksi beras petani lokal sebab gudangnya terisi penuh dengan beras-beras impor, kini publik dikejutkan dengan rencana pemerintah membuang 20 ribu ton cadangan beras bernilai Rp160 miliar di gudang-gudang perum Bulog sebab usia penyimpanannya sudah melebihi 1 tahun.


Rencana pembuangan ini tentu membuat publik mempertanyakan kinerja pemerintah dalam mengkoordinasikan penyerapan beras dari petani lokal, kebijakan impor, dan distribusi nya ke masyarakat. Pasalnya, 
masih ada berton-ton tumpukan beras di gudang Bulog sisa impor tahun 2018 silam, dari total 1,8 juta ton beras yang diimpor, yang terpakai hanya 150 ribu ton. Data Bulog mencatat hingga 13 Mei 2019, stok berasnya mencapai 2,1 juta ton. Stok beras ini sulit disalurkan, karena stok beras di pasar pun sedang melimpah akibat panen raya. Sementara, dengan kondisi gudang yang penuh, Bulog tidak sanggup lagi menyerap beras hasil produksi petani.
Ketidakharmonisan antara Kementrian Perdagangan (Mendag) yang kebijakan impor berasnya dirasa 'ugal-ugalan' dengan Perusahaan Umum (Perum) Badan Urusan Logistik (Bulog) menyumbang masalah pangan yang berkelanjutan. Pasalnya, Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita mengatakan bahwa pihaknya 'tidak peduli' dengan penuhnya gudang-gudang Bulog yang terisi beras impor tahun 2018 lalu yang mencapai 2,25 juta ton.
Padahal, menumpuknya beras-beras hasil kebijakan impor Mendag di gudang-gudang Bulog bukan hanya menghambat penyerapan produksi beras petani dalam negeri, bahkan lebih lanjut menjadikan tumpukan beras impor yang masih belum jelas distribusi nya ini mengalami pemusnahan sebab kualitas telah turun dan tak layak konsumsi.
Pengamat energi sekaligus Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (Irres), Marwan Batubara mendesak kasus impor beras Enggar diaudit investigatif oleh BPK sebab ia menduga terdapat permainan banyak partai dalam putusan tersebut.
Perlu disadari, bahwa integrasi antar pejabat pemerintah sudah barang tentu berhubungan kausal dengan nasib rakyat. Dalam sektor pangan misalnya, hilangnya integrasi antar menteri dan rapuhnya koordinasi antar pejabat negeri dapat menyebabkan rakyat kecil terpapar dampak negatif. Bukan hanya petani lokal yang kecipratan nasib "rugi" dikarenakan hingga pertengahan Mei 2019 Bulog hanya mampu menyerap kurang dari 500 ribu ton beras petani, hal ini juga akan berdampak pada Harga Eceran Tertinggi (HET) di pasaran yang akan mempengaruhi daya beli masyarakat secara luas. Apalagi problem pangan Indonesia masih diwarnai oleh aksi kartel yang terus memonopoli aktivitas pasar pangan, bahkan hingga 94%. Jika hal ini terus berlanjut, maka harga-harga di pasaran akan semakin tidak stabil, daya beli masyarakat menurun, dan dapat mendorong terjadinya inflasi yang tinggi.
Kebijakan antar menteri yang tidak sinergis ini seolah mencerminkan minimnya visi pengurusan kepentingan rakyat oleh pemerintah. Bagaimana tidak, dalam hal memotong aliran impor beras misalnya, seharusnya dibutuhkan kesamaan misi dan tujuan antar stakeholder yang ada, bukan malah akhirnya bersikap individualis dengan sektor tugas masing-masing. 
Namun, kita tak boleh lengah, bahwa fakta amburadul nya birokrasi seperti ini adalah konsekuensi logis dari penerapan sistem kapitalis neoliberal yang tengah mencengkeram Indonesia.
Selama sistem ini masih eksis diterapkan, akan lazim bermunculan masalah demi masalah. Para korporasi seperti kartel yang subur menjamur dengan aktivitas permainan harga nya maupun pejabat negara yang sembrono dalam kebijakan impor nya, menjadi hantu ketahanan pangan domestik.
Jika sudah demikian adanya, lalu mengapa masih saja negeri ini berharap pada sistem kapitalis neolib yang meniscayakan seabrek permasalahan? Bukankah ada syari'at Islam yang berpengalaman mensejahterakan kehidupan masyarakat, menstabilkan harga kebutuhan pokok, mengantisipasi
persoalan-persoalan pangan, dan berhasil mewujudkan pangan berkualitas bagi rakyat? 
Jika Islam yang telah ditawarkan sebagai solusi ini ditolak mentah-mentah, lalu apakah negara masih yakin dapat mewujudkan ketahanan pangan bagi 265 juta penduduk Indonesia di bawah kungkungan sistem kapitalis neolib ini? Sungguh sangat mustahil![MO/dp]



Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments
close