Oleh: Betha Vanglos
(Penikmat Literasi)
Sejak dahulu praktek politik demokrasi-kapitalistik menggunakan pakem: tak ada kawan yang abadi, tak ada musuh yang abadi, yang selalu ada, yakni kepentingan diantara mereka
Begitulah faktanya. Perang kata-kata, saling tuding, sekalipun berdarah-darah perseteruan antara pendukung yang berkepanjangan selama ini, tapi dihianati pemimpinnya. Semua hanya sandiwara
Pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di MRT Jakarta pada Sabtu (13/7/2019) pagi menuai kekecewaan berbagai pihak.
"Saya sangat kecewa dengan pak Prabowo yang bertemu dengan presiden yang dimenangkan dengan kecurangan, anggap bapak sebagai lambang perjuangan yang kuat, eh ternyata mengecewakan pendukungnya" kata Ecie Djoewito salah satu pendukung Prabowo-Sandi
Perjuangan yang diusung begitu cantik, elok kata dimainkan hanya untuk memuaskan pendukung saat kampanye, badalah politik terus berhembus pada kekecewaaan
Kasihan bangsa yang menyambut penguasa barunya dengan terompet kehormatan, namun melepasnya dengan cacian, hanya untuk menyambut penguasa baru lain dengan terompet lagi
Sadar atau tidak masyarakat telah dipaksa untuk mengikuti kehendak penguasa tanpa konfirmasi. Meminta begitu banyak, namun memberi begitu sedikitnya.
Disatu pihak segala kebijakan dibebani para rakyat, di lain hal mereka habiskan harta kekayaan rakyat lewat korupsi kolektif secara terang-terangan. Upeti yang bersembunyi dalam kewajiban pajak dan kartu sakti
BPJS yang diklaim sebagai bentuk saling peduli, jadi bukti bahwa rezim sedang melepas tangannya dari mengurusi rakyat. Subsidi dan hak-hak rakyat dicabut. Pembangunan infrastruktur dikejar hingga abadi membangun budi pekerti
Begitulah persoalan Negeri ini yang begitu kompleks tapi tak ada satupun benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat melainkan hanya untuk memperkuat kepentinganya.
Pada kasus Prabowo, harapan itu terlampau tinggi, ekspektasi yang tidak dilandasi akidah kadang menenggelamkan. Begitu Prabowo bertemu Jokowi, bersalaman, bercengkrama mesra, bahkan tampak wibawa Prabowo jatuh dihadapan Jokowi
Semua berspekulasi, ada ancaman kasus dibongkar, ada ketidakberdayaan, namun umat melihat zahirnya. Zahirnya, dengan motif dan alasan apapun, mereka semua telah mengkhianati umat, memenuhi seruan rezim dan mengabaikan jerit dan tangisan umat.
Prabowo tak bisa berdalih ini strategi, ini hanya memenuhi undangan, ini bukan ucapan selamat atas kecurangan dan berbagai argumen apologetik yang tidak memuaskan akal. Sederhana saja, secara zahir peristiwa Lebak Bulus sangat mengecewakan, sangat menyakitkan.
Keadaan ini, juga sudah disadari Prabowo jauh sebelum pertemuan Lebak Bulus terjadi. Tentang Resiko kekecewaan umat, Resiko di cap pengkhianat, dan seterusnya.
Namun, nampaknya Prabowo lebih memilih konsekuensi itu, ketimbang berjibaku berdiri dan tenggelam bersama umat. Entah kompensasi apa yang diberikan rezim, yang jelas sangat besar, bahkan sangat besar sekali.
Sikap kekanak-kanakan sosok politisi ditunjukkan teriak maling namun ujungnya berkompromi dengan para penghamba mempertontonkan bahwa tak ada lagi yang diharapkan dalam NKRI selain islam
Demokrasi benar-benar menjatuh umat kedalam jebakan kenistapaan dan pengharapan secara belebihan hingga harus menelan pil pahit perjuangan
Tragedi Stasiun Lebak Bulus harunya membuat umat sadar, menyandarkan haparan kepada tokoh demokrasi hanyalah omong kosong perubahan.[MO/ad]