Gambar: Ilustrasi |
Oleh: Diana. D. Sandina, SH
Mediaoposisi.com-Sebentar lagi kita akan mengalami pergantian anggota legislatif, masih ada sejumlah rancangan undang-undang yang menunggu untuk segera disahkan. Tak terkecuali, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang beberapa kali mengalami penundaan karena masih ditentang masyarakat. RUU PKS, berdasar paradigma feminis liberal, dianggap tidak sejalan dengan norma budaya dan agama di negeri ini.
Secara eksplisit, RUU PKS hendak merusak tatanan sosial dan keluarga di Indonesia. Salah satunya, Komnas Perempuan, dalam naskah akademik RUU PKS pada halaman 28, menyoroti bahwa kekerasan seksual atas dasar pilihan orientasi seksual berbeda. Berdasarkan Catatan Tahunan 2013, Komnas Perempuan mencatat terdapat 31 kasus kekerasan terhadap perempuan akibat orientasi seksual dan identitas gender yang berbeda. Bukankah suatu hal yang sangat wajar dan lumrah, jika kita melihat kemaksiatan di sekitar maka kita akan berusaha menghentikan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama dan budaya?
Lalu, jika adanya “persekusi” terhadap pelaku kemaksiatan dianggap sebagai kekerasan oleh Komnas Perempuan, dengan kata lain secara de jure, mereka menghendaki kaum disorientasi seksual (LGBT) diakui keberadaannya dan dilindungi (baca: dilegalkan). Meski anehnya, mereka masih menyangkal bahwa RUU PKS tersebut tidak bermakna melegalkan LGBT.
Pasal 1 angka 1 RUU PKS menyebutkan, “kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik”.
Maka secara a contrario, dapat ditafsirkan bahwa rumusan tersebut memberikan kebebasan seksual kepada siapapun secara bebas (untuk melakukan zina, atau disorientasi seksual/LGBT) yang mana kebebasan seksual tersebut tidak dikategorikan sebagai tindak kekerasan seksual asal satu sama lain sama-sama ‘ridho’. Lebih ironis lagi, jika ada seorang istri dan dia merasa “dipaksa” melayani suaminya maka sang suami bisa terancam pidana telah melakukan kekerasan. Saat istri berusaha memidanakan suami, tatanan keluarga bisa terancam karena pondasi keluarga tidak lagi dibangun atas dasar ketaatan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Pakar Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Prof. Mudzakir menilai, RUU PKS rancu karena memusatkan perhatian pada aspek ‘kekerasan’, padahal seharusnya dipusatkan pada aspek ‘seksualnya’. “RUU PKS yang dilarang kekerasan, bukan hubungan seksualnya. Selama tidak ada kekerasan, maka seksual dibolehkan,” ulasnya. RUU PKS dinilai berpotensi memporak-porandakan norma hukum dalam sistem nilai, sistem asas hukum, dan sistem norma hukum Indonesia.
Mudzakir merekomendasikan supaya RUU ini tidak perlu dibahas di legislatif. “Kalau ada materi hukum yang belum diatur dalam hukum pidana dan RUU hukum pidana, sebaiknya diselesaikan berdasarkan ilmu hukum pidana,” pungkas Mudzakir dalam Seminar dan Focus Group Discussion tentang RUU PKS di Yogyakarta, Ahad, 10 Maret 2019 yang digelar oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. (suaramuhammadiyah.id, Senin, 11/03/2019).
Demokrasi Suburkan Liberalisasi Seksual
Dalam alam demokrasi, negara menjamin kebebasan tiap-tiap individu. Tak terkecuali kebebasan untuk bertingkah laku, termasuk seksual. Pandangan orang-orang Barat penganut ideologi kapitalis, terhadap hubungan pria dan wanita, didominasi pandangan yang bersifat seksual semata bukan dalam rangka melestarikan jenis manusia.
RUU PKS, alih-alih untuk solusi kekerasan seksual sejatinya hanya sekedar kamuflase atas nama umbrella act. RUU PKS membuka peluang semakin terbukanya pintu liberalisasi di negeri ini. Keinginan “kebebasan” bertingkah laku, baik pergaulan bebas, disorientasi seks, dsb mereka drive supaya legal. Lebih ekstrimnya lagi, bahwa jika RUU PKS ini di-sounding-kan maka ketahanan keluarga muslim bisa terancam.
Disisi lain, dalam sistem hukum saat ini, penerapan sanksi oleh perangkat hukum membutuhkan pendanaan. Paradigma berpikir ala kapitalis tentu memandang ranah ini tidaklah menguntungkan dari sisi materi. Akhirnya pemerintah pun selalu seolah-olah setengah hati dalam mengusut tuntas permasalahan kejahatan dan upaya penegakan hukum.
Gunarta, seorang perencana di Bappenas, menyatakan dalam hal penyelesaian perkara (clearing rate), khususnya kejahatan konvensional cenderung stagnan pada kisaran 50%. Kasus-kasus konvensional seperti pencurian, penipuan, pemerkosaan, sampai pembunuhan mengalami stagnasi clearing rate karena terkait dengan keterbatasan anggaran penyelidikan dan penyidikan tindak pidana.
Solusi yang ditawarkan ala demokrasi hanya sebatas kuratif (mencoba mengobati) tanpa menyentuh akar persoalan sesungguhnya. Dengan kata lain, ada respon setelah ada masalah. Tanpa melihat secara mendalam, apa hakekat permasalahan di tengah-tengah masyarakat. Adanya kejahatan seksual, pada dasarnya adalah efek samping dari diterapkannya kebebasan dalam sistem kapitalis.
Kemudahan akses pornografi, pergaulan bebas yang difasilitasi baik lewat tayangan film yang memberi inspirasi kalangan milenial maupun lemahnya aturan hukum yang mengatur tentang pergaulan bebas. Sebagaimana yang diamanatkan dalam KUHP (Pidana), zina tidak dikategorikan sebagai salah satu bentuk hukum pidana.
Solusi Tuntas Kejahatan Seksual
Ketika manusia menafikan aturan dari Al Kholiq, secara fitrah, masalah akan selalu ada. Saat ada solusi (hukum) tidak berdasarkan syariat Islam maka keadilan (dalam aspek memuaskan akal dan menentramkan hati) mustahil akan ditemui. Solusi yang shahih (Islam) adalah sesuai fitrah (karena hanya Allah Subhanahu wa ta’ala yang paling mengetahui hakekat baik/buruk manusia), dan menentramkan hati.
Seorang muslim hendaknya senantiasa mengikatkan setiap perbuatan kepada syariat Allah. Baik atau buruknya suatu perbuatan tidak berstandar pada pandangan manusia melainkan syariat-lah yang menentukan. Pun demikian, terkait dengan masalah kejahatan seksual. Akar persoalan sesungguhnya di balik masalah kejahatan seksual adalah side effect (efek samping) akibat tidak diterapkannya syariat Islam secara kaffah.
Terdapat tiga pilar pelaksanaan syariah Islam, yaitu ketakwaan individu, kontrol sosial, dan penegakan hukum oleh negara. Seorang individu yang bertakwa akan berusaha menjaga dirinya dari perbuatan maksiat mulai dari menutup aurat, menjaga pergaulan laki-laki dengan wanita, dsb. Adanya kesadaran amar ma’ruf nahi munkar dalam masyarakat Islam juga akan memberi kontribusi “menciptakan lingkungan yang kondusif”.
Faktor utama kehidupan damai adalah diterapkannya sanksi yang tegas dari penguasa (dalam rangka melaksanakan syariat secara kaffah dalam bingkai daulah Khilafah), wajib diwujudkan. Jika semua elemen melaksanakan Syariat Allah niscaya negeri ini akan diliputi keberkahan dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Wallahu ‘alam bishshowab. [MO/ms]