Arinda Nurul Widyaningrum
(mahasiswi di UIN Alauddin Makassar)
Mediaoposisi.com- Saat ini dunia perindustrian game sedang digadang-gadang mampu menyumbang perekonomian Indonesia. Sehingga layak mendapatkan perhatian khusus. Perkembangan Industri game, khususnya e-sport menjadi industry yang sangat menggiurkan sebagaimana dikatakan Jokowi, “Di tahun 2017 perputarannya 11-12 triliun, per tahunnya tumbuh hingga 35% (www.idntimes.com)
Pada debat capres dan cawapres lalu juga menyatakan nilai ekonomi-esport tumbuh sangat pesat. Oleh karena itu pemerintah terus menggencarkan pembangunan infrastruktur langit seperti Palapa Ring demi menunjang permainan tersebut karena banyak keuntungan yang dihasilkan di sana (www.idntimes.com)
Peningkatan dunia games ini tentu menyasar kaula muda, yang memang sedang hoby-hobynya bermain dan berdua dengan gadgetnya. Dengan digalakkannya e-sport pula maka semua akan lebih beralih pada gadget dan teknologi. Bahkan ini berencana akan dimasukkan dalam kurikulum.
Menteri pemuda dan Olahrga (Menpora) Imam Nahrawi berpendapat e-sport harus mulai masuk ke kurikulum pendidikan untuk mengakomodasi bakat-bakat muda. “Kurikulum harus masuk di sana, pelatihnya harus masuk di sana. kalau sudah seperti itu, tentu harus kerja sama, harus berkolaborasi” (CNNIndonesia.com)
Bila sudah ada kerjasama, tentu ini menjadi angin segar bagi para pemilik modal, yang bisa melakukan investasi demi meraup keuntungan besar. Misalnya Telkom Indonesia yang memiliki ambisi besar di Industri games Indonesia.
Ambisi ini didasarkan pada tren game yang meningkat, khusunya mobile, yang sedang menjadi perhatian besar sejumlah masyarakat. Disampaikan oleh Joddy Hernady selaku EVP Digital & Next Business Telkom Industri game memiliki tingkat pendapatan yang paling tinggi dibandingkan jenis hiburan lainnya.
Bermain game dan mendukung e-sport boleh- boleh saja, namun melihat keadaan belakangan ini, game justru malah banyak membawa petaka. Sudah berapa banyak anak muda yang lebih memilih menanggalkan sekolahnya demi bermain game, lebih suka dengan gadget daripada bersama teman sebaya dan keluarga.
Magnet game bahkan juga mampu menyihir seseorang sehingga terinspirasi melakukan kejahatan. Sebut saja penembakan brutal yang dilakukan pelaku teror di Selandia Baru, terinspirasi dari permainan pubg.
Di satu sisi pemerintah memang menganggap ini dapat menaikkan ekonomi, namun sejatinya ekonomi siapa yang diuntungkan. Lagipula peningkatan industri ini menyedot perhatian pemuda untuk lebih hedonis daripada ideologis. Yang ada mereka memaksakan kehendak untuk bisa ikut tren game sementara ekonomi orangtua boleh jadi sempit. Yang ada mereka lebih fokus bermain daripada mencari tahu tentang agamanya.
Bukankah lebih genting memikirkan kurikulum yang cocok untuk bangsa daripada memasukkan e-sport ini pada kurikulum sekolah? Kurikulum yang ada saat ini saja belum mampu menghasilkan output yang baik. Berapa kali pergantian kurikulum, tetap saja mencetak generasi korup, liberal, hedonis, dan materialistik, semakin jauh dari pendekatan pada agama.
Tak perlu heran. Sebab kurikulum ikut diatur oleh Negara, sementara kekuasaan mereka tidak berorientasi untuk menegakkan agama ini. kekuasaan justru dijadikan alat untuk meraup keuntungan. Maka apapun yang diatur oleh Negara dengan sistem yang bernafaskan asas liberal(kebebasan) ini tak jauh-jauh dari liberalism pula. Begitu pula dengan aturan pendidikan yang dirancang.
Coba lah bayangkan dengan pendidikan Islam. Yang asasnya aqidah Islam yang jernih. Tujuan pendidikannya tak lain membentuk manusia yang berkepribadian Islam, menguasai Tsaqofah Islam, namun tak lupa menguasai Ilmu kehidupan yakni Sains teknologi dan keahlian yang memadai.
Buktinya ketika masa Kekhalifahan, sistem pendidikan justru menyumbangkan berbagai disiplin ilmu, menghasilkan berbagai ilmuwan yang shaleh. Sebab jernihnya pemikiran Islam yang berkembang di tengah masyarakat.
Maka kurikulum menjadi sesuatu yang penting sebagai pondasi awal menciptakan generasi yang berkarakter baik. Dan kurikulum Islam dan pendidikannya adalah yang terbaik. Mengapa? Sebab mengiring manusia untuk memahami hakekat dirinya dan penciptaannya di dunia. Tetapi kurikulum sekuler yang menjauhkan manusia dari agama, justru membuat petaka sebab tak menggiring manusia untuk memahami dirinya dan penciptaannya sehingga kabur dalam pengambilan keputusan, dan menjalani kehidupan.
Kurikulum mulia ini tentu hanya bisa ditegakkan dalam Daulah Islamiyah. Negara Islam, sebab memang kekuasaan dalam Islam untuk menegakkan agama. Sementara kekuasaan hari ini tidak. Wallahualam bisshawab.[MO/ra]