Kurdiy Attubany
[Lingkar Opini Rakyat]
Pemilu 2019, pemilu yang dikabarkan sebagai pemilu terumit di dunia ini, ternyata menelan dana APBN yang luar biasa besar yakni 25 trilyun rupiah lebih naik 61 persen dibandingkan anggaran Pemilu 2014. Kementerian Keuangan menjelaskan, alokasi penganggaran untuk Pemilu 2019 terbagi dalam kelompok penyelenggaraan, pengawasan, dan kegiatan pendukung seperti keamanan. Detilnya anggaran penyelenggaraan Pemilu sebesar Rp25,6 triliun, anggaran untuk pengawasan sebesar Rp4,85 triliun dan anggaran keamanan dialokasikan sebesar Rp3,29 triliun, dan anggaran untuk kegiatan pendukung pemilu sebesar Rp3,29 triliun (https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/ini-peruntukan-anggaran-pemilu-2019/).
Jika mengacu pada besaran APBD Kabupaten Tuban yang besarnya lebih kurang 2,2 trilyun, maka dana pemilu tersebut bisa digunakan untuk mengurusi 11 Kabupaten di Indonesia. Kalau berkaca pada jumlah penduduk kabupaten Tuban yang berjumlah 1,2 Juta orang (data dukcapil 2018), maka bisa diasumsikan dana tersebut untuk bisa digunakan untuk mengurusi 1,2 x 11, hasilnya 13, 2 juta orang equivalen dengan 5,3 persen penduduk Indonesia. Luar biasa bukan?
Mungkin cara berpikir ini ada yang menganggap lebay dan tidak apel to apel. Tapi, menurut penulis, gambaran cara berpikir ini agaknya penting untuk dihadirkan jika merujuk pada harapan, maksud dan tujuan pemilu diselenggarakan sebagaimana yang disampaikan oleh para kontestan pemilu yakni janji-janji kesejahteraan, keadilan dan sebagainya. Gambaran ini penulis sampaikan agar sebagai bangsa kita bisa lebih substantive dalam memandang pemilihan pemimpin.
Setidaknya kita bisa berpikir (ulang) bahwa setelah sekian kali pemilu digelar dalam system demokrasi ini, harapan-harapan yang dipanjatkan dalam hajatan pemilu lima tahunan tersebut lebih sering kecewa dari pada terpenuhi, disisi lain pemilu telah sebegitu besar menguras uang rakyat.
Apalagi jika merujuk pada fakta di lapangan yang menunjukkan kualitas penyelenggaraan pemilu sebesar 25 trilyun itupun tidak lebih baik dari penyelenggaraan tahun 2014 lalu. Protes-keluhan dari masyarakat di sana-sini mengemuka. Mulai dari kartu suara kardus, kurangnya kartu suara distribusi logistic telat dll
*_Islam punya Solusi_*
Ada ragam cara untuk mendapatkan pemimpin berkualitas. Rezim one man one vote dengan slogan suara rakyat suara Tuhan (?), suara terbanyak sama dengan kebenaran (?) terbukti hanya bagus diangan-angan, di slogan, namun gagal di realitas serta mahal dalam pembiayaan. One man one vote terbukti mencederai akal sehat dan nurani kita, dimana bobot suara professor setara dengan orang gila. Suara ulama yang day to day nya bergelut dengan ilmu dan pemikiran (tsaqofah) sama nilainya dengan suara anak SMA. Sungguh sangat tidak layak untuk dilanjutkan.
Islam, melalui Rosul dan Sahabat yang mulia, telah memberikan guidance kepada kita bagaimana cara mendapatkan pemimpin yang baik, yakni dipilih oleh Ahlul halli wal Aqdi. Misalnya penetapan kepemimpinan Abu Bakar Ash-Shidiq. Kekhalifahannya ditetapkan berdasarkan pemilihan dari Ahlul halli wal aqdi, kemudian para shahabat akhirnya sepakat dan berbaiat kepadanya dan mereka ridha dengan kekhalifahannya. Demikian pula halnya penetapan kekhalifahan Utsman bin Affan radhiallahu anhu, saat Umar bin Khattab memerintahkan agar khalifah sesudahnya ditetapkan setelah diadakan syuro oleh enam orang shahabat utama. Maka kemudian Abdurrahman bin Auf bermusyawarah dengan kalangan Muhajirin dan Anshar. Maka saat dia melihat kecenderungan masyarakat keseluruhannya kepada Utsman, maka beliau berbai’at kepadanya, kemudian sisanya dari tim enam tersebut berbai’at kepadanya, kemudian kaum muhajirin dan Anshar berbaiat kepadanya. Maka ditetapkanlah Utsman sebagai khalifah berdasarkan pemilihan dari Ahlul halli wal aqdi, kemudian para shahabat sepakat dan berbaiat kepadanya serta rela dengan kekhilafahannya.
Dari sini kita bisa melihat bahwa dalam system yang dituntukan oleh rosul dan para sahabat itu murah mudah dan cepat. Ahlul halli wal aqdi tersebut dipilih berdasar kemampuan, keilmuan, kesholehan dan itu basisnya adalah track record day to day nya, bukan melalui kampanye, suara terbanyak dll. Yang notabene kita tahu dalam system demokrasi, karena kampanye, para kontestan seolah-olah merubah dirinya, berubah menjadi sholeh, menjadi ‘alim menjadi dermawan dll.
Namun tentu saja system ini sulit jika tidak bisa dikatakan tak mungkin bisa berjalan, tanpa payung system politik Islam. Maka saatnya *_shift to Islam_* tinggalkan demokrasi.
from Pojok Aktivis