-->

Perempuan dalam Pusaran Ekonomi, Haruskah?

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat
Advertisemen



Oleh: Arin RM, S.Si
(Member TSC)


Mediaoposisi.com-Perempuan dengan segala kemampuan multitaskingnya masih menjadi lirikan kapital global. Setelah diketahui bahwa mayoritas perempuan mampu berdaya kerja, pengerahan perempuan untuk terlibat sebagai penggerak perekonomian justru semakin digencarkan. Keuntunganlah yang menjadi landasannya. Memperkerjakan perempuan adalah keberuntungan. Dari sisi ketelatenan mengerjakan pekerjaan rumit, perempuan lah jagonya. Dari sisi ketelatenan, perempuan lah yang memiliki sifatnya. Dan dari sisi jumlah, tentu perempuan lebih banyak, artinya potensi tenaga kerja terus berlimpah. Yang tak kalah penting adalah banyak tenaga perempuan yang mampu terus bekerja meski dengan gaji murah.

Sederetan kondisi di atas memang dibaca sebagai peluang besar untuk mendapatkan keuntungan dengan memberdayakan perempuan. Dan kapitalis global yang tidak mau rugi, maka akan menjaga segala cara agar tetap bisa menggunakan jasa perempuan sebagai penggerak mesin perekonomian. Demikian pula yang terbaca dalam pertemuan tahunan dua lembaga dunia di Bali pekan lalu. Wacana terkait disuarakan oleh mereka yang duduk di kursi kekuasaan, sebagaimana di tulis di economy.okezone.com (09/10/2018) bahwa “DPR Tekankan Peran Perempuan Dalam Pembangunan Ekonomi di Pertemuan IMF-World Bank”. Ungkapan senada juga diutarakan oleh legislator partai yang mendorong Bank Dunia dan IMF tingkatkan peran perempuan dalam ekonomi, beri akses layanan keuangan digital (solussinews.com, 09/10/2108).

Atas nama emansipasi, dibuatlah opini seolah perempuan berdaya jika terlibat dan eksis di dunia kerja. Atas nama kesejahteraan, dibuatlah asumsi bahwa perempuan itu hebat jika bisa menghasilkan
finansial secara mandiri. Pelan tapi massive opini seperti itu dijejalkan pada khalayak melalui berbagai macam pemberitaan. Bahkan iklan pun diarahkan menggorenng isu yang serupa. Sehingga sangat wajar jika pada akhirnya bisa khalayak ramai bisa menerima opini bahwa perempuan berdaya jika ada dalam pusaran ekonomi.

Tentu opini tersebut benar jika dilihat dari kacamata kapitalisme semata. Konsep sekuleriame nan materialis menjadikan agama tak lagi sebagai acauan ketika hendak mengejar harta. Walhasil ketika hendak meningkatkan keuntungan dengan menggunakan jasa perempuan, mereka tak lagi memandang bagaimana dan seperti apa kedudukan perempuan yang sesungguhnya. Dan tentu saja tak memperdulikan bagaimana keutamaan wanita dari sisi agama.

Padahal kacamata Islam dengan pendetailan yang serius memandang bahwa penarikan perempuan dalam pusaran ekonomi akan melahirkan efek domino yang merugikan. Perempuan yang mengaminkan bujukan opini berbasis tipuan kesejahteraan dan emansipasi dikarenakan himpitan ekonomi yang luar biasa. Kemudian mereka berusaha keluar dari himpitan dengan upaya mencari tambahan rupiah dan dunia kerjalah pilihannya. Padahal kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa dunia kerja tak selalu ramah perempuan. Korban trafficking kebanyakan juga perempuan. Korban penyiksaan tenaga kerja migran kebanyakan juga perempuan. Pelecehan dan kekerasan di luar sana, korban terbesarnya pun juga perempuan.

Dari sisi apa yang mereka tinggalkan di rumahnya juga tidak kalah merugikan. Tak jarang suami yang seharusnya mendapatkan istrinya dengan kondisi optimal, justru berhadapan dengan istri yang dalam kondisi capek luar biasa setelah seharian berkutat dengan tuntunan pekerjaan. Akhirnya permasalahan rumah tangga bermunculan dan berujung pada perceraian. Bahkan dikarenakan banyaknya perceraian, hingga ada ‘Hari Perceraian” yang jatuh pada 8 Januari 2018 (bbc.com, 08/01/2018). Tentu sangat disayangkan. Namun, bukan tanpa sebab hari itu dimunculkan. Faktanya memang perceraian mengalami peningkatan.

Banyaknya waktu yang termakan lantaran digunakan bekerja, kadang juga menyebabkan perhatian ibu kepada anak secara langsung menjadi berkurang. Pengasuhan anak diberikan kepada orang terdekatnya atau pengasuhnya. Sehingga efek lanjutannya memunculkan ancaman kenakalan remaja di depan mata. Sebenarnya kasus kriminal, tawuran, pergaulan bebas, hingga aborsi sudah sering terdengar di pemberitaan. Tapi seiring dengan canggihnya teknologi yang disusupi kemaksiatan, ditambah dengan minimnya waktu orang tua mendampingi anak secara langsung lantaran bekerja, sangat dimungkinkan jika pertambahannya juga semakin memprihatinkan. Padahal generasi muda ini adalah penerus kehidupan bangsa. Kondisi mereka saat ini adalah gambaran bagaimana nasib bangsa ini ke depan. Oleh karenanya, kondisi mereka haruslah diselamatkan. 

Perempuan harus dikembalikan pada fitrahnya, berada dalam pusaran rumah tangga dengan segala kemuliaannya. Sebab kokohnya bangunan rumah tangga membutuhkan peran besar dari sosok ibu yang hebat lagi bervisi mencetak generasi berkualitas. Lalu, jika mereka kesulitan ekonomi bagaimana? Islam menjawab, penanggung nafkah perempuanlah yang memberinya. Jika para wali tidak sanggup, maka negaralah yang harus memberikan tanggungan. Akan tetapi mustahil jaminan demikian akan diperoleh di masa kapitalisme bercokol seperti saat ini. Maka guna menyudahi hanyutnya perempuan dalam pusaran ekonomi berkepanjangan adalah dengan mengondisikan aturan yang pro pada perempuan. Yang sistem ekonomi dan kebijakan politiknya berpihak pada terpenuhinya jaminan bagi keluarga untuk dapat memenuhi semua kebutuhannya, baik ekonomi maupun psikis.

Dan sistem Islamlah jawabannya. Sistem ini pula yang akan menjadi penjaga generasi dari paparan kerusakan, termasuk masuknya liberalisme melalui arus teknologi digital. Agar potensi besar mereka tidak terbajak sia-sia oleh derasnya mesin penghancur yang hanya mementingkan keuntungan harta semata. Oleh karenanya dalam hal ini, perempuan selain perlu keluar dari pusaran kerja juga perlu ambil bagian untuk melakukan edukasi kepada semua lapisan akan pentingnya penerapan sistem Islam dalam kehidupan. Satu-satunya sistem yang akan memberikan kebaikan menyeluruh karena lisensi jaminannya langsung dari Allah. “…Apakah hukum jahiliah yang kalian kehendaki? Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin? (TQS Al Maidah: 50). Jadi, jelaslah bahwa sistem Islam adalah sistem terbaik, tanpa perlu trial and error. [MO/dr]


Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments
close