-->

Kesenjangan Di balik Subsidi Elpiji Bukti Kegagalan Sistem Kapitalisme

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat
Advertisemen

Oleh: Hikmatul Mutaqina, S.Pd

Mediaoposisi.com-  Gemah ripah loh jinawi. Itulah Indonesia. Dari negeri maritime sampai negeri agraris, semua tertuju untuk Indonesia. Belum lagi kekayaan dalam buminya, berupa batubara,minyak bumi, gas alam dan barang tambang lainnya. Tidakkah semua itu cukup untuk menghidupi seluruh penduduk negeri ini?

Allah berirman dalam surat al-a’raf 96, yang artinya:
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi,...”

Dalam tafsir Ibnu Katsir, firman Allah: walau kaana aHlul quraa aamanuu wat taqaw (“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa.”)

Maksudnya, hati mereka beriman dan membenarkan terhadap apa yang dibawa oleh para Rasul, lalu mereka mengikuti Rasul dan bertakwa dengan berbuat ketaatan dan meninggalkan semua larangan;

la fatahnaa ‘alaiHim barakaatim minas samaa-i war ardli (“Pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.”) Maksudnya, hujan dari langit dan tumbuh-tumbuhan dari bumi, dan apa yang ada dalam bumi.

Berdasarkan ayat di atas sebenarnya Allah telah menjamin keberkahan dalam kehidupan manusia, mencukupkan kebutuhan hidup mahluknya, jika saja mereka mau berada dalam ketaatan kepadaNya.
Namun, kehidupan rakyat negeri ini seakan jauh dari keberkahan.

Kemiskinan terus menjadi bagian dari kehidupan negeri, sehingga subsidi pemerintah menjadi hal yang sangat dinanti. Seperti kasus peluncuran ujicoba gas elpiji 3 kg non subsidi di bulan Juli ini untuk warga menengah ke atas, seperti yang dilansir oleh pertamina.

PT Pertamina memastikan bahwa pada tanggal 1 Juli 2018 akan memasarkan gas elpiji 3 kg non subsidi dengan harga Rp 39 ribu per tabung. Ketua DPD III Hiswana Migas, Juan Tarigan mengatakan, gas tersebut pastinya lebih mahal daripada gas melon.

Iya gas elpiji 3 Kg non subsidi ini akan dipasarkan. Tabungnya warna pink,” kata Juan Tarigan.
Kendati demikian, Juan menjelaskan, sampai saat ini masih belum mengetahui berapa harga yang akan dijual nantinya, karena Pertamina menurutnya msaih melakukan perhitungan. “Saat ini Pertamina masih menghitung,” sambungnya..

Juan menambahkan, ia menilai bahwa gas elpiji 3 Kg warna pink ini hanya sebagai pelengkap dari varian yang ada, hal ini dimaksudkan agar nantinya masyarakat yang memilih. “Apakah gas warna hijau nanti ditarik atau tidak, kami tidak tahu, karena itu kewenangan pemerintah,” tegasnya.

Sementara itu, Plt Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati, mengaku dipasarkan gas elpiji 3 Kg non subsidi, karena ada permintaan dari masyarakat. “Ini artinya, ada masyarakat yang tidak butuh subsidi,” ujarnya.

Adanya elpiji subsidi dan non subsidi, memberikan makna adanya kesenjangan dalam masyarakat. Ada masyarakat miskin dan ada yang kaya. Hingga akhir tahun 2017 jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 26 juta jiwa atau 10,12 persen dari penduduk nasional. Ini bukanlah jumlah yang sedikit.(Tribunnews.com).

Bahkan jika kita menggunakan data penduduk miskin dari BPJS yang berhak menerima JKN jumlahnya mencapai 92,4 juta orang. Mirisnya, sebagian kecil WNI memiliki rekening di atas 5 miliar yaitu sebanyak 78.177 oarang. Sungguh kesenjangan kaya-miskin yang sangat luar biasa.(Alwaie, Juni 2018)

Adanya kesenjangan yang lebar antara si kaya dan si miskin merupakan salah satu ciri hasil diterapkannya system kapitalisme. Ideologi barat yang menjadikan landasan materi sebagai tujuan hidupnya, sehingga menjauhkan peran agama untuk mengatur kehidupan.

Ekonomi kapitalisme yang berpatokan pada mekanisme pasar bebas dengan tangan tak kentaranya (invisible hand), memberikan kebebasan pada setiap orang dalam menguasai sumber daya.

Dalam mengatur perekonomian, terbukti menimbulkan kesenjangan karena modal yang akhirnya menjadi penentu keberhasilan. Masyarakat seolah terbelah menjadi dua, yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin papa. Itulah potret perekonomian yang tampak saat ini dengan kemiskinan dimana-mana.

Sistem ekonomi kapitalisme didasarkan pada azas kebebasan. Kebebasan kepemilikan terhadap harta, kebebasan pengelolaan harta, dan kebebasan konsumsi. Azas kebebasan ini tidaklah layak, karena melanggar nilai moral dan spritual.

Bisnis minuman memabukkan ataupun prostitusi misalnya dianggap legal selama menguntungkan, karena jelas bertentangan dengan nilai agama dan merusak intitusi keluarga. Termasuk penguasaan terhadap SDA strategis oleh sebagian kecil kelompok kaya telah mengorbankan sebagian besar masyarakat. Lahirnya manusia-manusia rakus yang menjadikan materi sebagai standar nilai dalam kehidupan.

Mahalnya sumber energi dan biaya hidup yang tinggi merupakan kesalahan pengelolaan kekayaan alam yang mestinya bisa mensejahterakan.

Maka wajar jika Allah mencabut keberkahan dari langit dan bumi. Kekayaan negeri tak lagi dinikmati penghuninya, tapi diangkut ke luar negeri untuk kebutuhan orang asing.

Menurut Fahmi Amhar (2008) sebesar 85% ladang migas dikuasai asing. Bahkan kontrak-kontraknya tidak masuk akal. Misal: Blok Cepu Exxon (perusahaan AS)  telah bermutasi dari sekadar technical assistance menjadi pemilik (owner). Hal tersebut akibat tekanan pemerintah Amerika Serikat.

Demikian juga di bidang batubara. Perusahaan batubara diributkan karena tidak membayar royalti sehingga direksinya dicekal dan diancam. Padahal PT Freeport di Papua juga sama tidak membayar royalti selama dua tahun tapi perlakuannnya berbeda karena di Papua itu milik AS.

Inilah hasil dari penerapan ideologi kapitalisme, tidak ada jaminan keberkahan hidup untuk setiap manusia di dalamnya.

Politik Energi dalam Islam dan Solusi atas Mahalnya Gas 
Islam adalah sebuah ideologi yang melahirkan aturan yang mengatur segala aspek kehidupan termasuk masalah energi atau sumber daya alam lainnya.

Ketika Syariah Islam diterapkan oleh negara maka segala bentuk energi akan dikelola sesuai dengan syariah untuk kesejahteraan rakyat. Berikut politik energi dalam Islam dan solusi atas mahalnya gas:

Pertama, Dalam pandangan Islam, energi seperti migas, batubara, panas bumi, dan sebagainya adalah termasuk kepemilikam umum yang wajib diatur oleh negara. Dari sisi sumber energi, jika di suatu negeri muslim berbagai sumber energi tersedia dalam jumlah yang melimpah, maka ladang-ladang energi tersebut harus dikelola oleh negara sesuai syariah.

Negara boleh saja mengontrakkan pengelolaannya kepada swasta, namun dalam akad kontrak kerja (ajir-musta'jir) bukan dalam konsesi bagi hasil.

Kedua, Negara wajib mengurus energi sebaik-baiknya dalam kerangka mengurusi pemenuhan kebutuhan rakyat sehingga tak ada satupun warga yang kesulitan mendapatkan energi seperti Gas LPG.

Jika dalam negeri tidak ada sumber energi yang melimpah, pemerintah wajib mendatangkan energi dengan cara yang paling efisien agar tidak ada warga negara yang sampai tidak sanggup menjalankan syariahnya karena kelangkaan dan mahalnya energi.

Ketiga, Adapun perusahaan-perusahaan energi baik gas, minyak, batubara, panas bumi atau yang lain seperti air, angin, nuklir, dan biofuel untuk dijadikan listrik atau bahan bakar, semua itu harus didorong oleh negara agar tumbuh dan kreatif serta beroperasi sesuai dengan syariah Islam.

Keempat, solusi berikutnya adalah menyatukan kekuatan energi dan SDA dari negeri-negeri muslim seluruh dunia.

Hal ini tentu hanya akan terwujud manakala negeri ini mencampakkan sistem ekonomi kapitalisme dan segera kembali kepada sistem ekonomi Islam yang diterapkan melalui sistem pemerintahan Islam yakni Khilafah Islamiyah. Maka keberkahan akan terwujud di negeri gemah ripah loh jinawi ini.[MO/sr]




Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments
close