dakwatuna.com - Orang yang berjasa, menolong serta menjaga kita seringkali kita sebut sebagai pahlawan. Sebuah kata yang terkadang kita tak pernah tau definisi sesungguhnya ketika hendak dilontarkan dalam sebuah pertanyaan “apa definisi pahlawan?”, sehingga kita harus mencari dan kembali membuka buku-buku kamus berbahasa Indonesia. Namun ‘pahlawan’ dapat kita gunakan untuk menyebut siapapun yang telah berjasa dalam hidup kita.
Dan anggap pula, pahlawan itu ialah sosok yang tangguh, yang tak pernah gentar hadapi musuh. Yang tetap bertahan walau diterpa ombak dan badai. Superhero misalnya, pada film fantastis mereka hendak sebagai pemeran utamanya. Tak ada cerita akhir yang menggambarkan bahwa mereka kalah walau melemah. Maka “membela yang menang” itu sebuah keniscayaan. Kita mengingat dan mengagung-agungkan nama pahlawan.
Tapi kita bukan bicara superhero, bukan pula pahlawan ksatria dengan ototnya melawan kejahatan. Tapi kita bicara tentang keanggunan wanita dalam jasanya yang telah membuat kita mengingat dan mengheningkan cipta.
Dalam pelajaran sejarah dan kesenian kita disuguhkan sebuah lagu, dalam syairnya
“Ibu kita kartini, putri sejati.. putri indonesia, harum namanya”
Ibu Kartini. Beliau adalah sosok ibu, yang bangkit dari keterpurukan dan kesedihan mendalam. Yang telah memberikan pengaruh besar bagi bangsa ini, Bangsa Indonesia. Ia berusaha keluar dari zona-zona yang memenjarakannya, ketika seusai masa Sekolah Dasar ia dipingit sampai waktu hendak ia akan menikah. Terlahir dari kehidupan ekonomi keluarga yang biasa-biasa saja sehingga ia tidak dapat melanjutkan sekolah. Namun ia bangkit,memperjuangkan sesuatu yang ia pikir merupakan haknya dan hak-hak kaum wanita lainnya. Kini tanda jasanya telah jelas, kaum wanita sudah bisa sekolah dengan bebas dan di mana saja baik di dalam maupun di luar negeri. Gerakan emansipasi wanita telah berhasil. Kartini telah berjasa besar dalam menghantarkan kaum wanita Indonesia menuju mimbar kehormatam dan kebebasan.
Kita juga mengenal Cut Nyak Dien, sosok wanita kelahiran Aceh yang tak pernah takut melawan penjajah Belanda. Mengajak seluruh Rakyat Aceh untuk terus berjuang, ketika kala itu ia tersulut karena Masjid Besar Aceh dibakar hangus oleh Belanda. Sampai ia ditangkap dalam kondisi rabun karena tua telah meliputinya. Hingga bertemu ajalnya pada tahun 1908 dimakamkan secara hormat di Gunung Puyuh, Sumedang, sebuah komplek pemakaman para bangsawan Sumedang, tak jauh dari pusat kota.
Mungkin kita juga mengenal para pahlawan wanita seperti Cut Nyak Meutia, Raden Dewi Sartika, Martha Christina Tiahahu, atau Hajjah Rangkayo Rasuna Said. Mereka semua tangguh dan berjasa pada masanya, yang pengaruhya dapat dirasakan hingga sekarang. Merekalah wanita tangguh yang namanya harum, pada abadnya dan abad kekinian.
Namun masih adakah mereka di abad ini?
Sudah jelas proses terjadi manusia dalam Alquran surat Al-Hajj ayat 5: ”Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging, yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu, dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan.”
Setetes mani, segumpal darah, segumpal daging, di dalam rahim. Ya, di dalam rahim seorang ibu. Dan digambarkan dengan ‘yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna’. Jadi proses terjadinya kita tidak instan. Bahkan ada peluang untuk gagal.
Ibu tetap bertahan. Menjaga kita selama 9 bulan mengandung kita dalam rahimnya. Setelah 9 bulan berlalu, kita lahir dengan tangisan yang membanggakan. Ibu tersenyum setelah kesakitan. Dan saat itu kita membuka mata, melihat inilah dunia. Kemudian lagi-lagi ibu, merawat, menyusui, hingga tumbuh besar dan sudah saatnya memasuki usia belajar di Sekolah Taman Kanak-kanak. Lagi, ibu mengantar dan memantau segala aktivitas yang kita lakukan semasa di sekolah. Sampai akhirnya pulang kembali ke rumah dengan Ibu.
Kini kita telah dewasa. Ada yang sudah menjadi orang-orang berhasil dengan menyandang jabatan-jabatan tinggi dalam organisasi, institusi dan lainnya. Adapula yang masih hanya nongkrong di pinggir jalan, merokok dan tawuran, mabuk dan memakai obat-obatan. Inilah potret generasi.
Maka tantangan dan indikator keberhasilan abad sekarang adalah generasi. Sederhananya, segalanya tentang bab syukur. Bersyukurlah dan menjadikan seorang ibu sosok pahlawan sejati, tanpa mengharap imbalan dan pamrih. Pahlawan wanita yang tangguh, karena kasih dan sayangnya sepanjang masa walau perilaku kita tak sesuai dengan ekspetasi dan harapannya.
Wanita tangguh di abad 21 itu adalah ibu,
Kalau saja hari ini kita tidak ditakdirkan untuk melihatnya tersenyum, malah terbujur kaku. Itu artinya, Allah telah mengistirahatkannya. Allah telah menyimpan ketangguhannya sampai pada waktu yang ditentukan, dan kebaikan kelak terlahir bermuara pada doa anak-anaknya yang shalih.
Tentang Fauhadanis Nadif
Mahasiswa Desain Grafis 2012 di Politeknik Negeri Jakarta. Ketua Lembaga Dakwah Kampus Fikri PNJ. Senang membaca dan menulis, dan visualisasi dalam desain grafis [Profil Selengkapnya]